Pandangan Dunia Tauhid dan Pengelolaan Lingkungan
Pendahuluan
Persoalan lingkungan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat moderen saat sekarang ini. Bila kita membaca atau mengamati berita di media cetak maupun elektronik, sepertinya hampir tiap hari kita disuguhkan berita-berita tentang perusakan lingkungan hidup mulai dari banjir bandang yang diakibatkan oleh adanya illegal logging, hilangnya beberapa pulau karena penambangan pasir laut, pencemaran air baik di perairan tawar maupun laut oleh buangan limbah domestik maupun industri, konsekuensi yang tidak diinginkan penggunaan biosida (mulai dari yang merusak kesehatan manusia sampai pada munculnya varitas atau spesies yang persisnten terhadap biosida), punahnya beberapa spesies di darat maupun di perairan akibat eksploitasi berlebih terhadap alam abiotik (pembukaan lahan-lahan perkotaan) maupun biotik (overfishing), rusaknya keseimbangan ekologis akibat penggunaan spesies-spesies rekayasa genetik baik dalam bidang pertanian maupun industri pengolahan limbah (penggunaan bakteri mutan untuk bioremediasi), kenaikan permukaan laut yang merupakan konsekuensi global warming akibat penggunaan gas rumah kaca, hingga rusaknya lapisan ozon yang merupakan ancaman serius bagi penduduk bumi. Kegiatan manusia moderen yang menjadi penyebabkan kerusakan lingkungan juga berakibat pada rusaknya beberapa kebudayaan masyarakat indigenous yang ramah lingkungan, seperti masyarakat aborigin di Australia, Indian di Amerika, Daya Indonesia.
Akar persoalan kerusakan lingkungan itu oleh kalangan intelektual seperti, (Capra 2002) — fisikawan --, (Naes 1989) – penggagas deep ecology --, (Fox 1990) – penggagas transpersonal ecology --, ditenggarai berakar pada paradigma emperisme Baconian yang diperkaya oleh gagasan Cartesian-Newtonian yang reduksionis-mekanistik dalam memahami makro dan mikrokosmos alam semesta. Empirisme induktif dalam metode ilmiah yang digagas oleh Francis Bacon tidak hanya memisahkan antara obyek dan subyek peneliti, tetapi juga mengubah arah ilmu pengetahuan dari upaya untuk mencari kearifan, dengan memahami tatanan alam dan kehidupan yang harominis dengan alam menjadi upaya untuk menaklukkan dan menguasai alam untuk kepentingan manusia (Capra 2002). Gagasan antroposentrik ini kemudian diperkuat oleh gagasan Rene Descartes tentang Cogito ergo sum – saya berfikir, maka saya ada. Gagasan tersebut selain salah dalam tataran logika juga mengimplikasikan bahwa pikiran menjadi lebih kuat dari materi (tubuh) dan membawanya kepada padangan yang menyatakan bahwa akal dan materi merupakan dua hal yang terpisah dan berbeda secara mendasar. Selanjutnya pemisahan ini membentuk suatu gagasan bahwa alam semesta merupakan sesuatu sistem makanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah yang dapat direduksi menjadi kepingan-kepingan materi dasar yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan reduksionis-deterministik Descartes ini kemudian diperkuat oleh Newton yang mereduksi fenomena fisik hanyalah sebagai konsekuensi gerak partikel benda, yang disebabkan oleh kekuatan grafitasi yang saling tarik menarik (Capra 2002). Padangan Newtonian ini semakin memperkuat metafora Cartesian tentang alam semesta sebagai mesin alroji. Secara umum Bacon, Descartes dan Newton mengagas suatu trilogi yaitu pengusaan, pemisahan dan pematerian – reduksinis-mekanistik – alam sebagai karakter science. Oleh karenanya hanya dengan trilogi itulah suatu gagasan atau metode dianggap ilmiah.
Pada akhirnya trilogi itu menjadi worldview atau pandangan dunia yang tidak hanya berpengaruh pada ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, biologi, tetapi lebih dari itu pandangan dunia itu telah menyeruak jauh pada berbagai bidang ilmu seperti, sosiologi, psikologi (Capra 2002) bahkan ilmu agama – berbagai hal yang berhubungan dengan cara penafsiran kitab-kitab suci.
Penafsiran agama, terutama agama Ibrahimi atau yang dikenal dengan agama samawi yang disemangati oleh trilogi di atas mendorong beberapa intelektual yang peduli terhadap lingkungan seperti (White 1967) dan (Toynbee 1972) menenggarai bahwa agama Ibrahimi terutama Kristen mengandung semangat utilitarian yang sangat kuat dan sikap destruktif yang kental terhadap alam. Hal ini terutama didasarkan bahwa dalam ketiga kitab suci agama Ibrahimi itu memuat doktrin Imago Dei bahwa manusia diciptakan sebagai citra Tuhan yang dinilai sangat antroposentrik. Kenyataan ini diperkuat adanya beberapa ayat-ayat dalam ketiga kitab suci agama tersebut yang menyebutkan tentang kekuasaan manusia atas alam (QS:22:65; QS:6:165).
Makalah ini akan mendiskusikan “jalan alternatif” sebagai landasan dalam memahami teks-teks kitab suci terutama kitab Suci Islam yaitu Al Quran dengan cara yang tidak emperis-antroposentrik – sebagaimana yang dikehendaki Al Quran (QS:2:2, 3 & 4), sehingga spirit keagamaan bisa dihindarkan dari penafsiran yang tidak tepat. Di samping itu tulisan ini ingin menawarkan spirit suci agama sebagai pandangan dunia dalam pemanfaatan dan pelestarian lingkungan.
Pandangan Dunia Tauhid
Istilah Pandangan Dunia Tauhid meskipun mungkin bukan pertama kali digunakan oleh Murtadha Mutthahari – seorang filosof dan perakit revolusi Islam Iran – tetapi merupakan istilah yang sering digunakannya dalam berbagai karyanya. Pandangan dunia tauhid dapat didefinisikan sebagai konsepsi yang komprehensip tentang alam semesta dan kehidupan manusia yang didasarkan pada nilai-nilai yang memahami bahwa hanya ada satu keberadaan yaitu Allah sebagai Kausa Prima. Prinsip tauhid inilah yang akan dielaborasi dalam tulisan ini, karena mempunyai potensi untuk menjadi sejenis pandangan dunia yang dapat menggantikan paradigma Cartesian-Newtonian yang telah mempunyai peran penting dalam pengrusakan lingkungan.
Pengajaran agama khususnya Islam berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber yang berasal dari periwayatan (naqliyyah) dan intelektual (aqliyyah). Pengajaran yang berdasarkan periwayatan adalah seluruh pengetahuan yang disebarluaskan dari generasi awal yang tidak diperoleh melalui pemfungsian pikiran manusia pada dirinya sendiri. Contoh yang khas dari pengertian ini adalah bahasa, wahyu dan hukum. Pengajaran Intelektual adalah seleruh pengetahuan yang secara prinsip dapat diperoleh oleh kesadaran intelek manusia tanpa bantuan generasi terdahulu atau wahyu (Chittick 2000). Tauhid yang merupakan penegasan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan karena hanya Allahlah yang merupakan Wujud Absolut merupakan contoh yang gamblang dari pengetahuan Intelektual. Pengetahuan ini dapat diperoleh manusia tanpa melalui penagajaran yang bersifat periwayatan. Karena pengetahuan tentang keAbsolutan Keberadaan Allah merupakan anugerah kepada manusia ketika ia mengfunsikan akal sehatnya. Bahkan pengajaran yang bersifat periwayatan dapat diverifikasi dengan pengajaran yang bersifat inteleksi ini.
Peryataan seorang muslim teradap Keberadaan Tuhan atau yang dikenal dengan syahadah, penyaksian bahwa Allah adalah Wujud Absolut berimplikasi pada proses penyerahan diri kepada Diri yang Absolut yaitu Tuhan, sebagaimana salah satu makna Islam yaitu penyerahan diri kepada Eksistensi Absolut. Hal ini karena eksisten-eksisten yang lain selain Eksistensi yang Absolut adalah eksistensi reflektif yang bergantung pada Eksistensi Absolut, sebagai Kausa Prima. Secara logis hal ini bisa dipahami melalui relasi sebab akaibat. Sebab (Causal) tidak mungkin bergantung pada akibat, bahkan sebaliknya akibatlah yang bergantung secara eksistensial kepada sebab. Karena Tuhan sebagai Sebab dari segala sebab dan merupakan Eksistensi Absolut maka seluruh eksistensi selain-Nya adalah eksistensi yang bergantung atau berserah diri kepada-Nya. Dengan demikian penyerahan diri kepada Tuhan bukanlah proses yang dogmatis berdasarkan pengetahuan riwayat tetapi ia merupakan pengetahuan yang hadir bersamaan dengan kemaujudan manusia dan seluruh eksistensi yang lain.
Oleh karena hubungan antara Eksistensi Tuhan dan eksistensi alam semesta merupakan hubungan yang reflektif dengan Tuhan sebagai Kausa Prima, maka antara Tuhan dan alam semesta dan antar komponen alam semesta merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini tidak mengimplikasikan bahwa eksistensi alam semesta sama dengan Eksistensi Tuhan sebagaimana dipahami oleh kaum monisme. Secara sederhana kalangan filosof Islam seperti Mullah Sadra – Maestro Filsafat Transendental (Hikmah Al-Mutaaliyyah) – menggambarkan relasi Tuhan-Alam semesta seperti hubungan cahaya putih yang dilewatkan pada sebuah prisma yang akan menghasilkan pendaran berbagai warna. Tuhan dianalogkan sebagai cahaya putih itu dan warna-warni yang direfleksikan adalah berbagai esksistensi alam semesta. Selanjutnya menurut Sadra masing-masing eksistensi itu memiliki tingkat eksistensi yang berbeda-beda tergantung kekuatannnya masing-masing. Bagi Sadra eksistensi adalah satu realitas yang mengambil bagian dalam gradasi dan kesempurnaan. Semakin banyak esensi yang dikandung satu eksistensi, maka semakin rendah tingkat intensitas dan kesempurnaannya dan begitu juga sebaliknya (Rahman 1975). Semakin unik eksistensi itu, maka semakin tinggi tingkat gradasionalnya dan itulah yang disebut dalam teks-teks agama sebagai manusia sempurna (Insan Kamil) atau Citra Tuhan (Imago Dei).
Persyaksian yang kedua dalam pandangan dunia tauhid yaitu persyaksian adanya Nabi sebagai manusia yang mempunyai citra gradasional Tuhan yang tertinggi dari seluruh eksisten-eksisten yang lain. Oleh karena itu para Nabi adalah orang-orang yang telah mengalami sejenis penyingkapan ruhani (spiritual disclosure) melalui proses transformasi spiritual yang dalam bahasa Al Quran disebut mi’raj. Persyaksian ini menunjukkan bahwa kehadiran para Nabi atau orang-orang suci bukan semata-mata merupakan penyampai teks-teks keagamaan yang bersifat sakral tetapi juga merupakan wakil Tuhan untuk mengingatkan manusia untuk menyadari kembali anugerah tauhid yang inheren dalam dirinya.
Upaya pengingatan atau tadzkir ini merupakan upaya yang penting untuk mentransformasi manusia yang masih mentubuh (profan) yang belum sepenuhnya menyadari konsepsi tauhid yang inheren di dalam dirinya untuk menjadi manusia transendental yang keberadaan reflektifnya sebagai citra Tuhan. Seluruh proses “belajar menjadi manusia” pertama kali tergantung pada bagaimana mengingat tauhid dan selanjutnya tergantung pada pengingatan yang aktif dan bebas terhadap tauhid, suatu pernyataan tentang Keesaan Tuhan yang merupakan fitrah dari jiwa manusia (Chittick 2000).
Selanjutnya syahadah kenabian juga merupakan konsepsi tentang manusia suci yang kepadanya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawabnya. Pengelolaan dalam padangan dunia tauhid merupakan bagian dari proses pembimbingan alam semesta untuk kembali menyadari posisinya dan yang akan kembali kepadaNya. Oleh karena itu konsepsi teks-teks agama tentang “ditaklukkannya” alam semesta untuk manusia harus dipahami dalam konteks syahadah kedua yaitu penyaksian adanya manusia suci yang merupakan citra Tuhan. Sebagai citra Tuhan yang merupakan eksistensi gradasional tertinggi Nabi tidak dimungkinkan secara logis melakukan kesalahan atau kerusakan. Dalam bahasa Al Quran disebut sebagai manusia yang telah dan sedang mengalami pensucian dari segala jenis kesalahan (QS:33:33). Sebagaimana Tuhan yang tidak melakukan kesalahan atau kerusakan, maka manusia suci sebagai citra Tuhan juga tidak melakukan kesalahan atau kerusakan. Dan teks-teks agama tentang proses penaklukan dalam pandagan dunia tauhid adalah ungkapan adanya gradasi eksistensial dalam sistem alam semesta, dimana manusia yang telah mentauhid merupakan gradasi yang tertinggi atau telah mencapai posisi sebagai citra Tuhan. Oleh karenanya proses pengaturan atau pengelolaan alam tidak dilimpahkan kepada eksisten-eksisten reflektif kecuali kepada mereka yang telah mentransformasi dirinya menjadi citra Tuhan (QS:24:55;QS:21:105) atau dalam bahasa Tu Wei-Ming disebut sebagai manusia yang telah mensurga (Chittick 2000).
Prinsip-prinsip pandangan dunia tauhid di atas tidak hanya dapat mengantikan dualisme Cartesian-Newtonian tentang persoalan jiwa dan tubuh, antara subyek dan obyek yang diamati oleh para pakar quantum dan ekolog dianggap tidak memadai dan antroposentrik, tetapi juga memberi landasan ontologis-epistemis tentang sesuatu yang bersifat metafisik dan fisik serta relasi antara mikro dan makrokosmos yang merupakan satu kesatuan organik. Tidak seperti metafora Cartesian-Newtonian yang menganggap alam semesta sebagai mesin besar yang deterministik, padangan dunia tauhid memahami bahwa alam semesta merupakan bagian eksistensi reflektif yang selalu bergerak -- dan oleh karena itu hidup – menuju pada titik kesempurnaan dibawah bimbingan Tuhan. Disamping itu pandangan dunia tauhid menyediakan gagasan hirarkial dinamis alam semesta. Gagasan ini memahami bahwa alam semesta sekalipun merupakan satu kesatuan yang utuh dan organik, tidak menepis kenyataan hirarkis di dalamnya sebagaimana disalahpahami oleh kaum deep ecology egaliter (Griffin 2003). Hirarki itu dalam pandangan dunia tauhid bukan suatu yang determistik-meterialistik, tetapi merupakan sesuatu yang dinamis dan transendental yaitu sesuatu yang dicapai dengan mengaktifkan intelektualitas yang mentauhid yang inheren dalam kehadiran setiap eksistensi reflektif di bawah bimbingan Tuhan melalui manusia suci sebagai citra-Nya.
Dengan demikian pandangan dunia tauhid menyediakan konsepsi ontologis-epistemis tentang alam semesta yang organik-dinamik. Disamping itu ia juga menawarkan konsepsi aksiologis tentang proses bagaimana menjadi citra Tuhan. Dalam pandangan dunia tauhid hanya manusia citra Tuhanlah yang mempunyai kemampuan mengelolah alam semesta, karena mereka bukan hanya telah mengenal (ma´rifat) atau mengalami spiritual disclosure tetapi juga telah “lebur” (fana) -- atau terserap oleh --dengan Sang Maha Pengelolah alam semesta (Allah Rabb Al-‘Alamin).
Khusnul Yakin
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Unhas
Dosen Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP) Unhas
maaf, dalam penulisan di atas penulis menggunakan body note tanpa rujukan yang dapat pembaca lacak, karena dalam penulisan artikel di atas tidak disertakan daftar reference-nya, setidaknya disertakan secara lengkap asal kutipan berdasar siapa penulisnya, misal Rahman, bisa saja disalah artikan bagi pembaca awam dengan Fajrul, Muhammad, dan sebagainya.
BalasHapusmaksud dari komentar ini ialah, agar perkembangan dunia keilmuwan mampu berkembang dengan kritis-analitis, dengan ditopangnya tulisan yang layak untuk dikomentari. saya tidak mengatakan tulisan di atas tidak layak, tapi kurang layak untuk tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan.
kalau boleh mengomentari; sebuah kritik yang excellent terhadap dualisme-Cartesian-Newtonian, kalau melihat bacaannya, penulis menggunakan kritik dalam prespektif filsafat perenial--khususnya Islam.
salam
wise-elsimo@ymail.com