Ibu Yushinta, Sang Penakluk Kepiting
KOMPAS.COM-Nyaris sepuluh jari tangannya pernah terluka dan berlumuran darah karena tercapit kepiting. Namun, dia tidak pernah kapok meneliti hewan yang bercangkang keras itu.
Itulah Dr Ir Yushinta Fujaya MSi, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, yang tengah memperjuangkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terhadap sebuah karya penelitian tentang budidaya kepiting cangkang lunak.
Kelembutan dan ketekunan perempuan kelahiran Makassar, 23 Januari 1965, ini membuahkan cara lebih elegan untuk menaklukkan kepiting.
Dengan menyuntikkan ekstrak bayam pada tubuh kepiting, Yushinta membuktikan bahwa upaya melunakkan cangkang kepiting tak selamanya harus menempuh cara mutilasi. Bahkan, berkat metodenya ini, periode pelunakan kulit kepiting bisa dipersingkat dari biasanya 30-35 hari menjadi 16-20 hari.
Selama ini, untuk melunakkan cangkang kepiting, nelayan biasanya menggunakan cara mencopot kaki-kakinya. Teknik mutilasi hewan berhabitat air payau tersebut membuat kepiting melakukan molting, pelunakan cangkang.
Bagi kepiting, itu merupakan proses regeneratif dengan merangsang fisiologi hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak. Naluri body building seperti ini juga ada pada cecak. Cecak tidak perlu risau jika ekornya buntung karena terjepit pintu. Dalam periode tertentu, secara alami akan tumbuh kembali buntut baru.
”Sekilas, memang tidak ada masalah. Tapi, ditinjau dari sisi lingkungan dan pemasaran kepiting di mancanegara, cara ’penganiayaan’ seperti itu sudah kuno. Jika dipertahankan, kepiting asal Indonesia bakal ditolak di pasaran ekspor,” urainya.
Padahal, kepiting merupakan salah satu primadona ekspor hasil laut dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan juga sejumlah provinsi di Kawasan Timur Indonesia, di samping udang, ikan tuna, dan rumput laut.
Yushinta yang sudah menjurnalkan 22 publikasi ilmiah menegaskan, istilah mutilasi tak hanya seram dan mengerikan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, mutilasi juga menekan kelangsungan kehidupan hewan dan berisiko mengurangi nilai ekonomis dan kemaslahatannya bagi masyarakat.
Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini mencermati, kian tumbuhnya kesadaran akan nilai-nilai perikemanusiaan di berbagai belahan dunia semakin menebalkan pula kesadaran akan ”perikehewanan”.
”Makin banyak negara yang menjunjung tinggi penegakan HAM, dan pada saat bersamaan tumbuh pula kesadaran masyarakat untuk melindungi hak hidup binatang, animal welfare,” ujarnya seraya menyebut sederet negara maju yang merupakan pasar ekspor potensial bagi kepiting Indonesia.
Kepiting yang lazim dibudidayakan di sela-sela pepohonan bakau merupakan komoditas serbaguna. Mulai dari daging hingga kulit atau cangkangnya bernilai ekonomis. Tak hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga menjadi bahan obat-obatan.
Daging kepiting rendah lemak, tinggi protein, serta sumber mineral dan vitamin. Meski mengandung kolesterol, daging hewan ini rendah kandungan lemak jenuh. Selain juga merupakan sumber niacin, folate, dan potasium, vitamin B12, phosporous, zinc, copper, dan selenium. Selenium berperan mencegah kanker dan perusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Kepiting juga mengandung nutrisi bernilai tinggi terutama chitosan dan karatenoid yang banyak terdapat pada kulitnya. Chitosan dan karatenoid berfungsi menyerap lemak dan kolesterol, selain racun-racun lain.
Kulit kepiting yang telah diolah oleh industri bisa menjadi bahan baku obat dan kosmetik. Hal inilah yang membuat kepiting menjadi buruan negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa.
Terinspirasi ”Popeye”
Penelitian soal kepiting lunak ini hanyalah satu dari 18 judul penelitian yang telah dirampungkan Yushinta sejak menjadi dosen Unhas tahun 1989.
Dari mana ibu dua anak ini memperoleh semua ide itu? Rupanya penelitian ini terinspirasi sosok Popeye, tokoh pelaut dalam sebuah film kartun. Sebelum bertarung menaklukkan lawan-lawannya, Popeye terlebih dulu selalu melahap bayam sebanyak-banyaknya. Alhasil, tubuh Popeye jadi kekar, bugar, dan sangat tangguh bagi lawan-lawannya.
”Dari (film kartun) Popeye, saya penasaran untuk meneliti zat yang terkandung pada bayam,” tutur Yushinta.
Rupanya, bayam, pakis, dan tumbuhan paku-pakuan mengandung ekdisteroid, sejenis hormon molting yang mempercepat kepiting dan sejenisnya untuk mengelupas kulit lama dan meremajakannya kembali.
Bersama tim dari Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau Kabupaten Maros, Sulsel, sekitar satu tahun lalu, mulailah Yushinta melakoni langkah-langkah penelitian. Bermula dari pengukuran kadar ekdisteroid dalam tiap individu kepiting. Secara alami, untuk molting kepiting butuh ekdisteroid 500 nanogram per gram berat badannya.
Di lokasi penelitian Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, ekstrak bayam disuntikkan pada pangkal kaki kepiting sebanyak sepersepuluh mililiter untuk tiap kepiting. Pangkal kaki kepiting mempunyai bagian yang lunak serta memiliki pembuluh darah sehingga memudahkan kerja hormonal untuk molting. Hasilnya, cangkang yang semula keras pelan-pelan melunak.
”Penelitian ini memerlukan tindak lanjut lebih konkret bagi industri,” ungkap Yushinta.
Tantangan yang paling berat adalah bagaimana memurnikan ekstrak bayam dengan biaya yang terjangkau. Biaya pemurnian bisa mencapai Rp 3 juta per 5 miligram. Oleh Yushinta dan timnya, temuan terhadap ekstrak bayam itu diberi nama ”Vitomolt”.
Melalui Sentra HaKI Unhas, Yushinta telah bermohon kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk hak patennya.
”Agar tidak dicuri dan didahului negara lain, pemerintah harus cepat-cepat memproses dan mengabulkannya,” pinta Yushinta.
Jika pemerintah kurang tanggap dan lamban, bukan tidak mungkin karya anak bangsa dari Makassar ini benar-benar dicaplok oleh negara lain.
Itulah Dr Ir Yushinta Fujaya MSi, dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, yang tengah memperjuangkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terhadap sebuah karya penelitian tentang budidaya kepiting cangkang lunak.
Kelembutan dan ketekunan perempuan kelahiran Makassar, 23 Januari 1965, ini membuahkan cara lebih elegan untuk menaklukkan kepiting.
Dengan menyuntikkan ekstrak bayam pada tubuh kepiting, Yushinta membuktikan bahwa upaya melunakkan cangkang kepiting tak selamanya harus menempuh cara mutilasi. Bahkan, berkat metodenya ini, periode pelunakan kulit kepiting bisa dipersingkat dari biasanya 30-35 hari menjadi 16-20 hari.
Selama ini, untuk melunakkan cangkang kepiting, nelayan biasanya menggunakan cara mencopot kaki-kakinya. Teknik mutilasi hewan berhabitat air payau tersebut membuat kepiting melakukan molting, pelunakan cangkang.
Bagi kepiting, itu merupakan proses regeneratif dengan merangsang fisiologi hormonal untuk menumbuhkan kembali anggota badan yang patah atau rusak. Naluri body building seperti ini juga ada pada cecak. Cecak tidak perlu risau jika ekornya buntung karena terjepit pintu. Dalam periode tertentu, secara alami akan tumbuh kembali buntut baru.
”Sekilas, memang tidak ada masalah. Tapi, ditinjau dari sisi lingkungan dan pemasaran kepiting di mancanegara, cara ’penganiayaan’ seperti itu sudah kuno. Jika dipertahankan, kepiting asal Indonesia bakal ditolak di pasaran ekspor,” urainya.
Padahal, kepiting merupakan salah satu primadona ekspor hasil laut dari Sulawesi Selatan (Sulsel) dan juga sejumlah provinsi di Kawasan Timur Indonesia, di samping udang, ikan tuna, dan rumput laut.
Yushinta yang sudah menjurnalkan 22 publikasi ilmiah menegaskan, istilah mutilasi tak hanya seram dan mengerikan bagi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, mutilasi juga menekan kelangsungan kehidupan hewan dan berisiko mengurangi nilai ekonomis dan kemaslahatannya bagi masyarakat.
Doktor lulusan Institut Pertanian Bogor ini mencermati, kian tumbuhnya kesadaran akan nilai-nilai perikemanusiaan di berbagai belahan dunia semakin menebalkan pula kesadaran akan ”perikehewanan”.
”Makin banyak negara yang menjunjung tinggi penegakan HAM, dan pada saat bersamaan tumbuh pula kesadaran masyarakat untuk melindungi hak hidup binatang, animal welfare,” ujarnya seraya menyebut sederet negara maju yang merupakan pasar ekspor potensial bagi kepiting Indonesia.
Kepiting yang lazim dibudidayakan di sela-sela pepohonan bakau merupakan komoditas serbaguna. Mulai dari daging hingga kulit atau cangkangnya bernilai ekonomis. Tak hanya sebagai bahan makanan, tetapi juga menjadi bahan obat-obatan.
Daging kepiting rendah lemak, tinggi protein, serta sumber mineral dan vitamin. Meski mengandung kolesterol, daging hewan ini rendah kandungan lemak jenuh. Selain juga merupakan sumber niacin, folate, dan potasium, vitamin B12, phosporous, zinc, copper, dan selenium. Selenium berperan mencegah kanker dan perusakan kromosom, serta meningkatkan daya tahan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Kepiting juga mengandung nutrisi bernilai tinggi terutama chitosan dan karatenoid yang banyak terdapat pada kulitnya. Chitosan dan karatenoid berfungsi menyerap lemak dan kolesterol, selain racun-racun lain.
Kulit kepiting yang telah diolah oleh industri bisa menjadi bahan baku obat dan kosmetik. Hal inilah yang membuat kepiting menjadi buruan negara-negara maju seperti Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa.
Terinspirasi ”Popeye”
Penelitian soal kepiting lunak ini hanyalah satu dari 18 judul penelitian yang telah dirampungkan Yushinta sejak menjadi dosen Unhas tahun 1989.
Dari mana ibu dua anak ini memperoleh semua ide itu? Rupanya penelitian ini terinspirasi sosok Popeye, tokoh pelaut dalam sebuah film kartun. Sebelum bertarung menaklukkan lawan-lawannya, Popeye terlebih dulu selalu melahap bayam sebanyak-banyaknya. Alhasil, tubuh Popeye jadi kekar, bugar, dan sangat tangguh bagi lawan-lawannya.
”Dari (film kartun) Popeye, saya penasaran untuk meneliti zat yang terkandung pada bayam,” tutur Yushinta.
Rupanya, bayam, pakis, dan tumbuhan paku-pakuan mengandung ekdisteroid, sejenis hormon molting yang mempercepat kepiting dan sejenisnya untuk mengelupas kulit lama dan meremajakannya kembali.
Bersama tim dari Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau Kabupaten Maros, Sulsel, sekitar satu tahun lalu, mulailah Yushinta melakoni langkah-langkah penelitian. Bermula dari pengukuran kadar ekdisteroid dalam tiap individu kepiting. Secara alami, untuk molting kepiting butuh ekdisteroid 500 nanogram per gram berat badannya.
Di lokasi penelitian Balai Riset Budidaya Perikanan Air Payau, Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, ekstrak bayam disuntikkan pada pangkal kaki kepiting sebanyak sepersepuluh mililiter untuk tiap kepiting. Pangkal kaki kepiting mempunyai bagian yang lunak serta memiliki pembuluh darah sehingga memudahkan kerja hormonal untuk molting. Hasilnya, cangkang yang semula keras pelan-pelan melunak.
”Penelitian ini memerlukan tindak lanjut lebih konkret bagi industri,” ungkap Yushinta.
Tantangan yang paling berat adalah bagaimana memurnikan ekstrak bayam dengan biaya yang terjangkau. Biaya pemurnian bisa mencapai Rp 3 juta per 5 miligram. Oleh Yushinta dan timnya, temuan terhadap ekstrak bayam itu diberi nama ”Vitomolt”.
Melalui Sentra HaKI Unhas, Yushinta telah bermohon kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk hak patennya.
”Agar tidak dicuri dan didahului negara lain, pemerintah harus cepat-cepat memproses dan mengabulkannya,” pinta Yushinta.
Jika pemerintah kurang tanggap dan lamban, bukan tidak mungkin karya anak bangsa dari Makassar ini benar-benar dicaplok oleh negara lain.
Komentar
Posting Komentar
Salam; Perfecto Presento by Aquaculturo