Masalah Penyakit dalam Budidaya Air di Daerah Tropik
Pendahuluan
Penyakit dan pencemaran maupun kombinasi pengaruhnya bersama-sama (synergistic effects) menciptakan faktor pembatas dalam budidaya air (akuakultur). Faktor-faktor itu merangsang kematian secara akut maupun kronis, yang menyebabkan ikan tidak laku dipasaran karena penampilannya buruk, berbahaya bagi kesehatan manusia, serta memperkecil laba usaha lantaran pertumbuhan ikan lambat. Hal itu berlaku bagi ikan dan kerang-kerangan yang hidup di air tawar, laut, wilayah tropik dan subtropik (boreal).
Berbeda dengan produksi bahan-bahan kimia dan perangkat keras, produksi ikan justru tak dapat dibakukan. Hal ini terjadi karena tidak ada lokasi budidaya yang sama sifatnya satu dengan yang lain. Belum lagi reaksi ikan terhadap cekaman stress disertai perlakuan yang berbeda. Akibatnya, petunjuk pelaksanaan budidaya air tentang cara menghindari penyakit hanya berupa petunjuk yang umum sifatnya, dengan rincian yang harus diterapkan menurut kekhasan lokasi, spesies ikan dan kondisi lingkungannya.
“Penyakit bukanlah segalanya dan bukanlah yang terakhir. Penyakit adalah hasil akhir dari suatu interaksi antara perangsang dari luar (noxious stimulus) dan system biologis”. Pernyataan yang benar itu dibuat oleh Mawdeslew-Thomas (1972), dimana ternyata terapi kimia tidak dapat memecahkan masalah-masalah penyakit, tetapi hanyalah mengurangi atau mengobati pengaruhnya (akibat) dari masalah-masalah itu. Dalam jangka panjang, suatu sistem budidaya air hanya dapat berhasil apabila jenis yang dipelihara diberi kondisi kehidupan yang dapat mencegah pengembangan penyakit dan menghindari penggunaan anti-biotika sedapat mungkin.
Dasar-dasar Perkembangan Penyakit pada Budidaya Air
Pemahaman tentang asal-usul penyakit dan perkembangannya, merupakan syarat penting bagi keberhasilan dalam pencegahan dan terapi penyakit. Namun demikian, dinamika dari kebanyakan penyakit ikan masih sangat sedikit diketahui. Karena itu, pendekatan yang lebih cocok untuk memahami masalah pengembangan penyakit dalam budidaya air terlihat pada penjelasan mengapa ikan lebih sering sakit dalam budidaya dibanding dengan ikan-ikan yang hidup bebas di alam.
Ada dua jawaban yang perinsip dasarnya berbeda, yaitu:
Pertama, dalam kondisi budidaya, ikan yang menjadi lemah dilindungi. Sedangkan di alam, ikan-ikan yang lemah akan musnah (mati),
Kedua, budidaya menimbulkan keadaan yang kontradiktif yang merangsang perkembangan penyakit.
Karena adanya variasi genetik pada jenis-jenis ikan, pada setiap populasi akan terbentuk sejumlah specimen-spesimen dengan kelainan bentuk dan malpigmentansi, maupun specimen-spesimen yang daya tahannya terhadap penyakit lebih rendah dari biasanya. Persentase kejadian demikian itu di dalam populasi keseluruhan, tergantung dari proses keturunan dan banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, dimana induk-induk, telur-telur dan yuwananya berada.
Sebagaimana terjadi dalam prinsip evolusi, bagian populasi yang tidak cocok di alam akan menjadi korban pemangsaan predator. Di dalam populasi liar di alam, ikan-ikan yang lemah oleh suatu penyakit biasanya termangsa oleh predator sebelum ia mati oleh penyakit itu sendiri. Di dalam unit akuakultur yang dikelola dengan baik, kelaparan dan pemangsaan sebagai sumber mortalitas sebagian besar ditiadakan. Sebagai akibatnya, ikan yang sakit mempunyai kemungkinan lebih besar untuk bertahan hidup.
Dapat dikatakan bahwa penyebab langsung dari kebanyakan penyakit adalah parasit-parasit termasuk virus-virus, bakteri, jamur, dan protozoa. Penularannya semakin mudah di dalam kelompok ikan yang padat dibanding dengan di alam bebas.
Sebagai akibatnya, penyebaran penyakit yang lebih luas dapat ditemukan pada kolam budidaya atau keramba (Leong dan Wong, 1988). Banyak parasit, terutama yang termasuk golongan sistematika rendah tersebar luas, dan biasanya terdapat di dalam biotop atau bahkan juga di dalam tubuh ikan tanpa menyebabkan kondisi patologis. Bakteri seperti aeromonas hydrophilla, Flexibacter columnaris, Pseudomonas flurescens ataupun Vibrio anguilarum dikatakan bersifat saprofitis dan terdapat di mana-mana (ubiquitous). Namun demikian, dalam kondisi tertekan, bakteri tersebut dikenal sebagai penyebab penyakit, seperti haemorragic septicaemia, penyakit busuk insang (bacterial gill disease), pembusukan sirip (fin rot) dan vibriosis. (Robert dan Sommerville 1982, Wedemeyer et.al. 1976). Pertanyaan yang mendesak untuk dijwab ialah: apakah yang menyebabkan situasi aman itu berubah?
Penyebaran penyakit pada suatu populasi diatur oleh interaksi dari tiga variable, yaitu lingkungan, parasit dan ikan.
Lingkungan
Berpengaruh terhadap perkembangan berpengaruh terhadap daya tahan ikan
populasi parasit pada penyakit
Hanya sedikit macam penyakit
Parasit Langsung disebabkan oleh kondisi Ikan
Lingkungan yang tidak cocok
Populasi Kecil populasi besar resistensi rendah resistensi (daya
Tahan tinggi
PENYAKIT
Sifat dan kepadatan suatu parasit dalam suatu biotop menggambarkan tingkat tekanan infeksi. Tingkat resistensi dan imunitas menentukan tingkat kepekaan ikan terhadap parasit, dan banyak variasi parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap penangkaran (propagation), perkembangan dan fisiologi dari parsit maupun populasi inang (host). gambar
Interaksi dari beberapa parameter lingkungan menyebabkan pengaruhnya terhadap ikan sulit diramalkan. Lebih lanjut sampai pada derajat tertentu ikan itu sendiri mampu beradaptasi terhadap parameter fisika yang negatif, untuk memperoleh tingkat imunitas tertentu terhadap penyebab infeksi dan daya tahannya dapat dilatih pula terhadap gangguan-gangguan pada kadar tertentu.
Jenis-jenis parasit
(Gambar 2.3-2.8)
Keterangan:
1. Virus yang menyerang kelenjar lymphocyte menyebabkan pseudotumor dengan merangsang jaringan ikat pada kelenjar menjadi hypertrophy (membengkak). Penyakit lymphosistis telah dilaporkan terjadi pada 140 jenis ikan yang tersebar di antara Arktik sampai Tropik (Anders 1989). Walaupun penyakit tersebut tidak menyebabkan kematian, tetapi akibat penyakit itu buruk, sehingga harga ikan turun dan pertumbuhan lambat.
2. Bakterium Vibrio anguillarum menyebabkan bisul pada kulit dan pendarahan pada otot dan organ-organ dalam. Ada beberapa spesies Vibrio dikenal merangsang timbulnya “penyakit vibrio” atau “red pest” (Kinne 1984). Penyakit ini menyebar dengan cepat pada ikan-ikan yang dibudidayakan di laut dan di air payau, terutama bila terjadi perubahan yang cepat pada suhu dan kadar garam.
3. Trypanosoma sp, binatang flagellata yang hidup dalam darah, ditularkan oleh lintah ektoparasit ketika menghisap darah. Wabah penyakit ini secara missal menyebabkan ikan menderita anemia dan kurang gesit (lemah).
4. Kutu ikan: Argulus sp, suatu jenis yang termasuk kelas Crustacea, marga Branchiura, menghisap darah dari kulit ikan. Parasit ini diduga menularkan mikroorganisme yang pathogen dari ikan sakit kepada ikan sehat (Ahne 1983).
Klasifikasi Dasar dari Tipe-tipe Mortalitas dan Penyakit pada Budidaya Ikan
Ada tiga tipe kematian ikan yang dapat diamati dalam budidaya ikan, yaitu:
- Kematian akut yang dirangsang oleh kondisi lingkungan,
- Kematian akut yang dirangsang oleh parasit,
- Kematian kronis atau perlahan-lahan
Tidak seperti di dalam perairan alami, ikan yang dibudidayakan tidak punya peluang untuk melepaskan diri dari suatu malapetaka lingkungan, misalnya dari pertumbuhan ganggang alga yang beracun (yang disebut “red tide”), kekurangan (defisiensi) oksigen atau masuknya bahan-bahan beracun ke dalam system budidaya. Sifat khas dari mortalitas akut disebabkan oleh kondisi lingkungan ialah kematian mendadak di saat situasi tersebut mulai, dan kematian tersebut berhenti mendadak bila penyebabnya ditiadakan; situasi ini mempengaruhi semua golongan ukuran dan kebanyakan jenis ikan.
Karena kondisi buruk yang hanya berlangsung 1-2 jam, bahkan beberapa menit saja dan telah dapat mematikan semua ikan yang ada, maka penyebab mortalitas tersebut mungkin sukar dikenali. Ini terutama terjadi pada kematian ikan yang disebabkan kekurangan oksigen yang banyak terjadi di luar jam-jam kerja, atau disebabkan oleh mengalirnya bahan-bahan racun yang amat banyak secara tiba-tiba ke hilir sungai.
Karena tanda-tanda khas, misalnya mulut ikan terbuka lebar dan tutup insang mengembang, maka penyebab kematian itu adalah putusnya pernapasan (kekurangan oksigen). Namun demikian, tanda-tanda itu hilang setelah ikan mati beberapa jam. Puncak mortalitas pada umumnya terjadi pada pagi hari. Ikan yang besar-besar biasanya mati lebih dahulu, ikan perenang cepat (ikan banding, ikan trout) terpengaruh lebih dahulu daripada ikan-ikan yang lamban (ikan mas, belut). Spesies ikan yang mempunyai adaptasi morfologis yang khusus terhadap oksigen rendah (ikan tilapia, ikan gurame) dapat bertahan di air yang tidak mengandung oksigen, tetapi menderita keracunan hidrogensulfida setelah proses pencemaran terjadi.
Kadar oksigen pada perairan tropik yang dangkal merupakan sistem yang pelik. Penyinaran yang intensif biasanya mengakibatkan kadar oksigen jenuh di dalam air. Kadar tertinggi tercapai ketika sinar matahari cerah, sementara penggunaan oksigen oleh binatang maupun tumbuh-tumbuhan mengakibatkan kekurangan oksigen di malam hari dengan nilai paling rendah pada saat matahari terbit. Bila ke dalam system tersebut dimasukkan ikan, maka akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen secara tidak langsung oleh pembusukan kotoran dan sisa pakan ikan dan secara langsung oleh pernapasan ikan.
Bila pengukuran kadar oksigen dalam air itu relatif mudah maka pengukuran bahan beracun yang mematikan di dalam air sangat sukar karena memerlukan alat canggih, terutama bila berkenaan dengan pestisida organik. Selanjutnya, tanda-tanda kematian yang disebabkan oleh bahan toksis pada ikan biasanya tidak bersifat khas, misalnya renangnya tidak teratur, produksi lendir meningkat atau insangnya membengkak. Banyak bahan racun yang bersifat “spesies specific” yang mengakibatkan kematian terhadap satu spesies saja, tetapi bagi spesies lain menimbulkan kematian secara lambat. Bila zooplankton menurun secara luar biasa dan ada kematian kepiting dan tumbuhan air, mungkin itu menandakan bahwa bahan beracunnya berupa insektisida atau herbisida.
Mortalitas yang disebabkan oleh perkembangan ganggang yang memuncak (alga bloom) kebanyakan terjadi pada siang hari, ketika sinar matahari sangat cerah (Sarig 1971). Seringkali kejadian tersebut bersamaan dengan terjadinya perubahan warna air yang mencolok karena perkembangan massal dari suatu jenis alga. Segala jenis ikan dari semua golongan ukuran dapat terpengaruh karenanya. Suatu jenis alga tertentu mengeluarkan racun bagi ikan, alga jenis lain lagi menyebabkan kematian ikan karena secara mekanis menyumbat insang. Di air yang tergenang, kematian ganggang yang serentak dapat menyebabkan kekurangan oksigen secara serius, karena proses pembusukan alga yang tenggelam di dasar perairan.
Mortalitas akut yang dirangsang oleh parasit, ditandai oleh kematian ikan beberapa hari sesudah berjangkitnya penyakit. Kurva mortalitas kumulatif menanjak tajam dan ada sejumlah ikan resisten yang dapat bertahan hidup. Pada umumnya hanya satu spesies ikan saja yang terkena kematian seperti itu. Suatu penyakit menular dapat ditularkan langsung dari pembawa (carrier) kepada ikan yang bebas penyakit, karena perkembangan bibit penyakit (pathogen) tidak memerlukan istirahat sementara atau stadium perantara yang dapat menunda penyebaran penyakit itu di antara populasi ikan. Agen penyebab, kebanyakan termasuk dalam golongan virus atau bakteri, khususnya spesies yang baru-baru saja masuk ke dalam system perairan itu, sehingga ikan-ikan tersebut tidak mempunyai waktu untuk membentuk imunitas terhadap bibit penyakit yang ada di situ.
Dalam kebanyakan kasus yang terjadi, penyakit bersifat non-sfesifik, seperti pendarahan pada organ perut, otot dan kulit, pembentukan cairan dalam rongga tubuh (ascites) atau pembentukan bisul-bisul pada kulit. Identifikasi dari agen penyebab sangat sukar dan memerlukan teknik khusus. Identifikasi makroskopis terhadap bakteri di dalam darah atau kelenjar getah bening dan ginjal, mungkin memberikan pentunjuk pertama. Isolasi pengembangbiakan dan menginjeksi ikan yang sehat dengan bakteri, merupakan langkah selanjutnya untuk mendemonstrasikan patogenitas dari agen (penyebab) penyakit itu.
Bahkan induksi dari gejala penyakit, tidak menjawab pertanyaan apakah penyakit itu berasal dari virus. Ada banyak contoh penyakit ikan yang disebabkan oleh berbagai jenis virus dengan tanda-tanda luka pada organ (lesion) tampak makroskopis yang disebabkan oleh infeksi skunder oleh bakteri. Misalnya, diperlukan waktu sampai tahun 1970 untuk membuktikan adanya visceral hydropsy yang merusak ikan mas di Eropa, yang semula disebabkan oleh Aeromonas yang berasal dari infeksi: (1) virus dan (2) bakteri. (Schaeperclaus, 1979). Walaupun telah diadakan penelitian, tetapi asal-usul wabah bisul yang baru-baru ini menyebar di Asia Tenggara masih belum diketahui. Hal ini menunjukkan keterbatasan kita saat ini dalam mengidentifikasi penyakit bakteri pada ikan.
Ada semacam stadium peralihan antara mortalitas akut yang khas karena penyakit infeksi dan mortalitas lambat (kronis) yang disebabkan oleh keadaan lingkungan yang negatif, mikroorganisme yang kurang ganas atau oleh penyakit parasiter yang tidak menular (non-infectous). Setiap parameter negatif, seperti Faktor fisika: suhu, salinitas, radiasi, dan oksigen; Faktor Kimia: pencemaran Anthropogenik, kesadahan air, keasaman, dan hasil metabolisme beracun; Faktor Biologis: parasit, perkembangan ganggang, stress social, pemangsaan; Faktor penanganan+pakan: luka mekanis, kegaduhan (gangguan ketenangan), komposisi pakan, dan antibiotika.
Parameter itu dapat memperlambat perkembangan budidaya ikan, membuatnya lebih peka terhadap penyakit dan akbiatnya merangsang perkembangan penyakit yang mematikan. Biasanya menurunnya gizi pakan akan diikuti oleh infeksi missal oleh bakteri, ciliate, jamur (fungi) atau zooparasite yang non-spesifik.
Penyebab Penyakit (Patogen) yang Baru Ditularkan
Ikan yang dibudidayakan, sebagaimana halnya semua organisme yang system imunitasnya belum teradaptasikan, akan mudah diserang oleh penyakit. Hal ini berlaku bagi ikan-ikan yang baru memasuki suatu perairan dan bertemu dengan fauna parasit lokal, atau sebaliknya akan terjadi pula pada ikan-ikan lokal yang dihadapkan pada spesies parasit dari luar. Copepoda parasiter yaitu Lernaea cyprinacea yang masuk ke Indonesia pada tahun 1953, telah menyebabkan kerugian yang serius pada budidaya ikan mas dan gurame (Djajadireja et al, 1983). Sama halnya dengan Nematoda: Anguillicola crassus yang menyerang gelembung renang ikan, datang dari Asia Timur ke Eropa pada tahun 1970 (Taraschewki, 1988), yang perkembangbiakannya telah menghambat perkembangan populasi ikan sidat (eel) lokal yang belum kebal terhadap parasit itu.
Introduksi spesies ikan baru yang perkembangbiakan dan kebutuhan gizinya telah diketahui dengan baik, dan produktivitasnya pun tinggi, seperti ikan trout dan ikan mas, menarik bagi negara-negara yang tidak mempunyai tradisi budidaya ikan. Resiko penyakit yang memusnahkan, misalnya infectious hematopoietic necrosis (IHN), viral hemorrhagic septicemia (VHS) ataupun spring viremia of carp (SVC), seringkali tidak diperhatikan. Sayangnya, pentingnya pengendalian impor dan system karantina biasanya hanya berlaku di negara-negara yang pengembangan budidaya ikannya sudah maju, yang memang telah memiliki pengalaman yang negative dengan masuknya penyakit.
Studi tentang parasit dan bibit penyakit, penggunaan terapi kimia dan pengembangan karantina itu, merupakan anjuran dalam pengelolaan kesehatan untuk mendorong budidaya ikan di daerah tropik. Namun demikian, harus ditekankan bahwa kecendrungan memiliki ikan asli lokal sebagai calon jenis ikan yang dibudidayakan dan kajian yang berhasil tentang kebutuhan gizi dan lingkungan yang optimal akan dapat mengurangi, bahkan membasmi dari penyakit sejak awal.
Disalin kembali oleh Idham Malik
Dari artikel H Moeller, dalam buku Budidaya Air 1989
Komentar
Posting Komentar
Salam; Perfecto Presento by Aquaculturo