Biologi Udang yang Dibudidayakan dalam Tambak


Pendahuluan
Salah satu kunci dalam menunjang keberhasilan usaha pertambakan udang adalah kemampuan memodifikasi lingkungan perairan tambak yang sesuai dengan kebutuhan hidup dan pertumbuhan udang. Untuk itu, pengetahuan tentang biologi udang perlu dikaji secara mendalam, terutama mengenai morfologi, siklus hidup, tingkah laku, dan semua faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidupnya.
Menurut laporan Waterman dan Chance, dalam Motoh (1977), di dunia terdapat 318 spesies udang dari pamili Penaeidae, 80 jenis sama sekali belum dimanfaatkan. Dari sejumlah spesies tersebut, spesies udang dari genus Panaeus merupakan jenis yang terpenting karena ukurannya cukup besar. Dua diantaranya adalah udang windu (Panaeus monodon) dan udang putih (Panaeus marguiensis). Kedua jenis udang ini mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan.


Morfologi
Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (Cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi rostrum bagian atas biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah (rumusnya 7/3). Sedangkan rumus untuk udang putih biasanya 8/5.
Semua tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kerangka luar yang mengeras, terbuat dari Chitin. Di bagian kepala terdapat 13 ruas dan di bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala, diantara rahang-rahang (mandibula), dan di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal cucuk kepala terdapat mata majemuk bertangkai yang dapat digerak-gerakkan. Ukuran mata juga dapat dipakai untuk mengenal jenis udang pada tingkat Yuwana, dimana mata udang putih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan mata udang windu.
Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasang-pasangan, antara lain sungut kecil (antenulla), sirip kepala (scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibula), alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri atas dua pasang, dan maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, serta kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang dimana tiga pasang di antaranya dilengkapi dengan jepitan yang disebut juga istilah Chela.
Pada bagian perut terdapat lima pasang kaki renang (Pleopoda) yang terletak di masing-masing ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) yang ujungnya embentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdaapt lubang dubur (anus).
Alat kelamin udang jantan yang disebut juga dengan petasma terletak di antara kaki renang pertama. Sedangkan alat kelamin udang betina (thelicum), terletak di antara pangkal kaki jalan ke-4 dan ke-5, dengan lubang saluran kelaminnya terletak di antara pangkal kaki ke tiga.

Daur Hidup
Secara alami udang windu atau udang putih dan beberapa jenis udang lainnya yang dewasa, hidup di laut. Induk udang putih biasanya mengalami kematangan kelamin untuk pertama kalinya setelah mencapai panjang karapas 26 mm atau panjang total 125 mm. Menurut Villatus et al. dalam Toro dan Soegiarto (1979), udang windu mengalami 5 tingkat kematangan induk yaitu:
a. Tingkat belum matang, ovari (indung telur) tipis, tidak berwarna, terdapat pada abdomen.
b. Tingkat kematangan awal, ovari membesar, bagian depan dan tengah mengembang.
c. Tingkat kematangan lanjut, ovari berwarna hijau muda, dapat dilihat melalui eksoskleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh.
d. Tingkat matang telur, ovari berwarna hijau tua, ovari lebih besar daripada tingkatan-tingkatan terdahulu, dianggap sebagai tingkat kematangan akhir.
e. Tingkat sesudah bertelur (spent).

Tingkat 3 dan 4 terdapat pada udang betina karapas berukuran 60 mm atau lebih. Udang-udang dewasa ini akan kawin dan memijah pada malam hari di dasar laut. Telur yang dihasilkan biasanya mencapai 150.000 butir untuk udang windu dan 100.000 untuk udang putih.
Telur-telur yang dibuahi akan mengalami masa inkubasi selama lebih kurang 12 jam, dan akan menetas menjadi Nauplius selama lebih kurang 2 hari. selanjutnya akan mengalami perubahan bentuk menjadi zoea selama lebih kurang 6 hari. Pada fase ini udang mulai muncul ke permukaan perairan dan secara berangsur-angsur bergerak di perairan pantai. Tingkat mysis akan dialami udang selama lebih kurang 4 hari, dan seterusnya mencapai fase pasca larva yang biasanya larva telah mencapai perairan pantai dengan salinitas yang lebih rendah. Fase pasca larva ini akan dijalani oleh udang windu selama lebih kurang 39 hari. larva udang ini selanjutnya akan tumbuh menjadi yuwana/udang muda yang pada gilirannya akan beruraya lagi ke perairan yang lebih dalam di laut lepas untuk menjalankan tugas sucinya, kawin dan menghasilkan keturunan.

Sifat dan Tingkah Laku Udang
Secara umum udang mempunyai sifat dan tingkah laku tertentu, antara lain udang lebih aktif mencari makan pada malam hari daripada siang hari (nocturnal). Karena itu, penambahan makan tambahan pada malam hari penting bagi udang. Udang juga terkenal dengan sifatnya yang rakus, hal ini erat kaitannya dengan system pencernaannya, dimana udang memiliki usus yang tidak terlalu panjang, sehingga proses pencernaan makanan cepat sekali berlangsung dan perut cepat sekali kosong. Karena itu, perlu diusahakan ketersediaan makanan terus-menerus di dalam tambak, baik dalam jumlah maupun mutu yang memadai. Erat pula kaitannya dengan sifat kanibalistis udang yang sering muncul saat udang terasa lapar. Sifat ini muncul saat udang berada pada fase myses.
Proses pergantian kulit itu sendiri merupakan bagian dari kehidupan udang. Udang mempunyai kerangka luar yang tidak elastis, karena itu jika tumbuh maka ia harus membuang kerangka luarnya, dan menggantinya dengan kerangka baru. Pada saat proses pergantian kerangka baru inilah udang tumbuh dengan pesatnya, dengan menyerap air lebih banyak sampai kulit luar baru mengeras. Proses pergantian kulit ini berlangsung secara priodik, dan lebih sering pada saat udang menjelang dewasa.
Kulit luar udang tersusun dari unsur-unsur kalsium atau kapur. Karena itu pada saat pergantian kulit, ketersediaan unsur kalsium di perairan tersebut akan mendukung sekali kehidupan udang, terutama bagi udang muda yang mengalami proses pertumbuhan. Udang windu dapat berkembang hingga mencapai 34 cm dengan berat 270 gram, sedangkan udang putih bisa mencapai panjang 25 cm.
Berdasarkan kebiasaan makan, udang dapat dikelompokkan dalam golongan hewan pemakan semua (omnivora). Pada awal fase kehidupannya, yaitu pada saat persediaan kuning telur habis, udang mulai mencari makanan alami berupa plankton nabati Skeletonema, Amphora, Navicula, Tetraselmis dan lain sebagainya. Setelah mencapai ukuran pasca larva dan udang muda (yuwana), selain dari makanan tersebut di atas, ia juga mulai memakan plankton jenis Cyanophyeae, dan plankton hewani dari Rotifera, Protozoa, Copepoda dan lain sebagainya. Sedangkan apabila udang telah mencapai ukuran dewasa, maka ia mulai makan daging hewan lunak seperti moluska, cacing annelida, udang-udangan (Crustacea) dan anak-anak serangga seperti Chironomus dan lain sebagainya. Di tambak, udang dapat juga memakan plankton, klekap, lumut dan hewan benthos, namun jika padat penebaran tinggi, maka makanan tambahan mutlak diperlukan.

Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan
Dalam usaha budidaya perikanan, kelangsungan hidup dan pertumbuhan hewan merupakan dua komponen utama yang perlu diperhatikan. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang sangat ditentukan oleh dua factor utama, yaitu sifat genetika dari spesies udang itu sendiri sebagai factor internal dan factor lingkungan di mana udang itu hidup sebagai factor eksternal.
Untuk mendapatkan kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang yang maksimal, banyak ahli telah melakukan berbagai penelitian. Forster dan Beard (1974) telah melakukan penelitian mengenai padat penebaran terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup sembilan jenis udang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa padat penebaran mempengaruhi pertumbuhan kelangsungan hidup. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup terbaik ditemukan pada udang windu yang dapat mencapai berat 25,43 gram setelah dipeliahra selama 16 minggu dengan padat penebaran 25 ekor/m2, dan kelangsungan hidup 100%. Sedangkan jika padat penebaran dinaikkan menjadi 166 ekor/m2, maka berat akhirudang hanya mencapai 12,95 gram.
Ketersediaan makanan dalam jumlah dan mutu memadai sangat mendukung kehidupan udang. Jika padat penebaran tinggi, pemberian makanan tambahan pun mutlak dilakukan. Hasil penelitian Ysadi (1987) menunjukkan laju pertumbuhan harian larva udang windu yang dipelihara selama 40 hari berbanding lurus dengan jumlah ransom makanan yang diberikan (yaitu 5-20 % dari berat badan), namun berbanding terbalik terhadap efisiensi pemanfaatan makanan.
Kadar protein yang terkandung dalam makanan ikut pula menentukan laju pertumbuhan udang windu. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sennung (1985) yang meneliti pengaruh kadar protein ransom (15%, 25%, dan 35%) terhadap pertumbuhan udang windu. Dengan pemberian makanan berkadar protein 35% berat udang windu dapat mencapai 1.170 mg dengan berat awal 102 mg setelah dipelihara selama 4 minggu.
Selain faktor di atas hal lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang, yaitu kualitas air, seperti suhu, oksigen terlarut, pH, salinitas, tingkat kekeruhan air, bahan organic dan anorganik baik yang terlarut maupun yang tersuspensi. Selain itu, keberadaan hama dan penyakit juga ikut menentukan pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang.

Disalin kembali oleh Idham Malik
Dari artikel karya Tengku Daril dan Muchtar Ahmad
dalam buku Budidaya Air

Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi