Identitas dan Realitas Mahasiswa Kontemporer


Secara umum, mahasiswa adalah orang yang belajar di institusi Perguruan Tinggi atau universitas. Dengan begitu bisa juga disebut sebagai pelajar yang mengikuti jalur formal, dimana tempatnya sudah mencapai level tinggi. Materi ilmu yang diperolehnya pun sudah menjurus pada satu bidang ilmu. Tapi di samping studi ilmunya, seorang mahasiswa juga mendapatkan hal-hal lain, itu ia peroleh secara tidak langsung lantaran berkubang dalam iklim akademik yang membebaskan. Olehnya itu, jika ditilik dari sejarah, secara kolektif, mahasiswa mampu berpikiran merdeka dengan mengandalkan rasionalitasnya.



Tentunya terdapat perbedaan antara siswa dan mahasiswa, di samping kemampuan nalarnya yang telah meningkat, juga cara berpikirnya. Atau bisa disebut kedewasaan berpikir. Kerena itu, dalam mengambil kesimpulan, seorang mahasiswa harus melibatkan nalarnya. Mahasiswa dituntut untuk mempertahankan eksistensinya dalam mengambil sikap. Pertama ia harus identfikasi sesuatu yang berada di luar dirinya, apakah itu informasi, isu atau pengetahuan. Setelah itu melakukan pertimbangan rasional terhadap suatu persoalan dan berusaha memecahkannya dengan pelibatan rasio tadi. Ia harus mengumpulkan bukti-bukti yang akurat dan pelibatan logika, sehingga ia tak menyimpulkan sesuatu dengan keliru. Setelah itu, ia perstentasikan dan perdebatkan dalam alam diskursus wacana di dunia kemahasiswaan. Olehnya itu seorang terpelajar (mahasiswa) harus adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.
Dengan demikian, pada dasarnya budaya mahasiswa adalah cerminan budaya modernitas yang mengedepankan aspek logika dan kemanusiaan. Metode penyelesaian konflik sosial atau individu yang melibatkan mahasiswa bukan merupakan pertarungan fisik (adu jotos). Tapi melalui dialog, adu urat syaraf, atau diskursus dalam ruang-ruang intelektual. Media itu tersebar di acara dialog akademik, seminar-seminar, diskusi publik, atau diskusi-diskusi pelataran atau koridor-koridor.

Bagaimana realitas mahasiswa sekarang?
Namun, mahasiswa kini jauh dari itu. Mereka tercerabut dalam alam rasionalnya. Mereka berbuat sekadar untuk memenuhi kepentingan pribadinya dan jarang memperhatikan pribadi lainnya atau orang banyak. Ia tak menyadari fungsi mahasiswa sebenarnya. Fungsi manusia terpelajar. Sebagai manusia terpelajar, mereka semestinya harus gelisah. Karena mereka mengetahui realitas sebenarnya. Mengetahui kebusukan-kebusukan yang melingkupinya. Mereka adalah orang paling resah dibanding manusia-manusia lainnya. Ia resah karena pengetahuannya. Dan tentu kian resah kalau tak mampu berbuat untuk memperbaiki persoalan masyarakat itu.
Dan kini mereka tak lagi resah. Mereka menjadi mahasiswa, tapi tak tahu bagaimana sebenarnya seorang terpelajar bersikap. Dengan demikian, mereka sangat gampang terombang-ambing dalam arus globalisasi, mereka menganggap, menjadi mahasiswa sekadar peralihan menuju alam realistis nanti. Alam pekerjaan. Makanya, setelah tamat mereka hanya menjadi intelektual-intelektual mekanik. Yang paham bagaimana caranya bekerja, tapi kebingungan mencari jawaban kenapa ia bekerja seperti itu. Mereka yang tahu teknis, tapi tak tahu jawaban filosofisnya. Intinya Bagaimana mendahului kenapa. Kadang ada pikiran, apa bedanya siswa dan mahasiswa sekarang. Yang beda tampaknya umurnya saja.. so..
Mereka pun pintar otaknya, tapi mundur mentalnya. Mereka tak berani melakukan konfrontasi terhadap sesuatu yang sifatnya di atas dirinya. Mereka takut mendapatkan intervensi terhadap kekuasaan. Padahal, mereka punya akal dan mampu melakukan bantahan terhadap serangan yang ditujukan pada dirinya. Meski mereka belajar, tapi bukan menjadi manusia pembelajar. Walau mereka hidup dalam alam demokrasi, tapi mereka merasa hidup dalam alam feodal, dimana yang lebih tinggi adalah yang lebih tahu, sehingga tak ada keberanian untuk menolak instruksi dari atas. Bisa dikatakan pula mereka hidup dalam alam rimba, dimana yang kuat adalah yang menang.
Dengan begitu, mahasiswa pun menempuh jalur pisik. Untuk menampilkan kehebatan dirinya, ia tak menggunakan jalan dialog dan adu logika, tapi dengan jalan melakukan tekanan dengan intonasi kuat atau kata-kata kasar. Ia menggunakan posisi senioritasnya untuk menghadapi juniornya yang masih hijau. Junior yang masih meraba-raba, mana baik, mana buruk. Ia pun membuat orang yang berhadapan dengannya jatuh mental, dan pada akhirnya rasionalitasnya pun turut melenyap. Itu adalah hal pasti, karena pada dasarnya orang tak dapat berpikir jernih jika berhadapan dengan tekanan mental.
Kondisi ini,tak hanya dimanfaatkan oleh mahasiswa yang mengaku senior, tapi juga terkadang digunakan oleh dosen ketika berhadapan dengan mahasiswa di ruang kuliah. Dalam kondisi tertekan, mahasiswa pun urung berdialog, dan secara tidak langsung mematikan potensi akalnya untuk berkembang. Mahasiswa pun merasa rendah diri, menganggap dosen di hadapannya itulah yang lebih tahu. Padahal bisa saja ada diantara mahasiswa atau semua mahasiswa di ruang kuliah berpikiran kreatif dan inovatif, sehingga memunculkan ide-ide segar yang tak pernah dipikirkan oleh dosen. Itu terjadi jika kondisinya demokratis dan saling menghargai, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi dua arah.
Prilaku feodalistik dan banalistik ini terekam pula dalam peristiwa tawuran antar mahasiswa. Pada kejadian itu tak tampak lagi sosok akademis dalam diri mahasiswa. Jiwa terpelajarnya secara tak langsung tertutupi oleh naluri binatangnya. Rasionalitasnya tersingkir jauh, lari tunggang langgang ketakutan terhadap emosi dan egoisme manusia yang disebut mahasiswa. Padahal, mahasiswa sudah pada tahu bahwa kekerasan fisik sudah ketinggalan zaman. Itu adalah metode nenek moyang kita dulu yang akalnya belum berfungsi optimal, dimana sejak pradaban maju masuk ke Indonesia metode perjuangan telah bergeser ke dunia literer, yaitu budaya tulisan, bacaan, dan diskusi. Kenapa tidak kita berkelahi pikiran, perang akal? kan itu kesannya lebih akademis.
Jika begini terus, kebermahasiswaan kita tak akan maju-maju. Universitas pun pada akhirnya hanya melahirkan budak-budak intelektual, yang siap dijajah mentalnya oleh kekuatan-kekuatan besar di alam realitas (baca:dunia kerja). Para manusia-manusia mesin ini pun menjalani hidup dengan hampa, tak ada belas kasihan dan tolong menolong terhadap sesama. Istilahnya, institusi ini melahirkan manusia-manusia berwatak nekrofilia (berjiwa mati dan suka benda-benda mati). Dimana semua perbuatan diukur dengan timbal balik materi, serba pragmatis dan tak jauh-jauh dari politik kepentingan.Sehingga susah dibedakan mana yang murni pengabdian terhadap kemanusiaan, mana yang sekadar untuk memenuhi kepentingan pribadi saja.
Implikasi lainnya adalah sulitnya mahasiswa untuk menyerap ilmu yang diberikan kepadanya. Mereka belajar bukan untuk memahami, tapi sekadar untuk mengetahui seadanya saja, yaitu pada saat ujian berlangsung. Ilmu mereka dinilai dari angka-angka, bukan dari perbuatan-perbuatan baik. Sehingga mereka pun memberlakukan posisinya sebagai mahasiswa (orang yang berada di universitas) sebagai beban, menajalani proses belajar adalah beban. Mereka sangat menanti kesarjanaan untuk lepas dari beban itu dan pada akhirnya memperoleh beban baru lagi yang lebih kejam di luar tembok kampus.


Mereka pun dianggap sebagai mahluk yang tak bernyawa yang dapat ditakar secara tepat lewat penilaian fisik, tanpa menyentuh jiwanya sedikit pun. Mereka belajar hanya untuk mendapatkan angka-angka, sehingga esensi dasar ilmu tak mudah ia terima. Cahaya ilmu tak terbuka untuknya, makanya mereka pun selalu lupa terhadap informasi yang diterimanya.
Hasilnya, mahasiswa lekas sarjana, tapi ilmu itu tak turut bersamanya. Yang ia bawa serta adalah ijazah bersama angka-angkanya, serta pengalaman serunya di kampus, entah bersama temannya atau pacarnya. Mereka adalah manusia-manusia karbitan lepasan universitas, yang setelah keluar tak tahu mau kemana. Mereka mengalami disorientasi, lantaran minimnya bekal yang ia akan jual, bekal itu seperti keahlian-keahlian teknis, kekuatan mental, kemanusiaan, dan etika pergaulan sesama manusia. Jadinya, mereka menempuh apa saja untuk menyambung hidup, kompromi terhadap keadaan yang meliputi dirinya, menganggapnya sebagai takdir yang harus dijalani apa adanya, sementara cita-citanya dilupakan. Sehingga dengan begitu, universitas gagal membentuk manusia-manusia unggul yang pantang menyerah.

Cara Menyelamatkan Mahasiswa
Hal pertama yang mesti dilakukan adalah pengenalan masalah pada mahasiswa. Sejak awal masuk di universitas, bentuk masa orientasinya adalah pengenalan awal apa sebenarnya yang terjadi pada dunia, bangsa, daerah sekitar, manusia, dan diri sendiri sekarang ini. Bagaimana sejarah terjadinya, kemudian setelah mereka paham, harus pula diberikan masukan strategi atau cara untuk menyelesaikan masalah itu.
Hal ini tak hanya dilakukan senior terhadap junior, tapi juga antara dosen dan mahasiswanya, himpunan terhadap anggotanya, jurusan terhadap bawahannya.
Paling tepat dilakukan saat dosen memberi materi di ruang kuliah. Sebelum memulai kuliah perlu dipahami apa dan kenapa matakuliah itu disajikan. Sangat ditekankan aspek filosofisnya yang menjadi pondasi dasar terhadap ilmu itu. Sehingga bagunan setelahnya dapat kokoh dan tetap konsisten sampai akhir hayat. Dengan begitu, siswa dituntut untuk membuat pertanyaan-pertanyaan terhadap apa yang ia tekuni, lalu mencari jawaban-jawaban itu sendiri, baik lewat dosen, buku ataupun internet.
Setelah itu, universitas dituntut untuk menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan dan mencerdaskan. Dimana hak-hak mahasiswa diperhatikan dan dihargai. Penerapan Student Center Learning sangat tepat untuk ini. Dimana terjadi pertukaran informasi antar mahasiswa dan dosen, mahasiswa dituntut untuk mencari bahan kuliah kemudian mendiskusikannya. Dosen diharap tidak mendisktreditkan atau membeda-bedakan mahasiswanya, tapi menyamakan perlakuan. Di samping itu, dosen tak lagi menjadi sumber, tapi sekadar menjadi fasilitator yang diharap dapat menghadirkan suasana menyenangkan dalam ruang kuliah, membuat ruangan itu menjadi hidup oleh semagat belajar dan intelektualitas.
Mahasiswa tidak lagi melulu diperhitungkan lewat angka-angka, tapi lewat budi pekertinya, mentalnya, kemauan belajarnya, perbuatannya yang berguna bagi lingkungan dan manusia lainnya. Mengarah kesana, universitas sedianya mengajarkan dengan hati yang tulus ikhlas, semata-mata bertujuan untuk mencerdaskan anak didiknya. Mahasiswa harus dianggap sebagai sesuatu yang hidup dan senantiasa dihargai, sehingga mereka pun mencintai sesuatu yang hidup (biofily). Dengan begitu, mahasiswa pun mengisi hari-harinya untuk berbuat baik, melakukan serangkaian aktivitas ilmiah yang berguna bagi masa depannya dan masa depan dunia.
Mereka senantiasa kreatif dan inovatif dengan harapan kebaikan bersama. Prilaku itu dilakukan dengan memanfaatkan ilmunya yang didapatkan di bangku kuliah, sehingga ilmu itu terus bergulir dan tidak mengendap. Sehingga ilmunya berkembang, berguna dan tak gampang terlupa. Ada adagium berbunyi, apa guna ilmu tanpa aplikasi.. ini pertanyaan besar bagi mereka.
Selain itu, mahasiswa bersama-sama dengan universitas menciptakan suasana ilmiah dan demokratis di kampus. Dimana mahasiswa menghormati dosennya dan dosen menghargai mahasiswanya. Iklim demokratis itu direkayasa dengan pengadaan diskusi-diskusi koridor untuk mengasah rasionalitas dan mental mahasiswa. Dimana perjuangan mahasiswa dilakukan lewat pikiran, mulut dan tulisan-tulisannya. Dengan demikian, penyelesaian masalah dilakukan dengan dialog dan adu argumentasi dengan saling menghormati pendapat dan pilihan masing-masing. Semua entitas rela menerima kritik dan berupaya memperbaiki kritik tadi. Mahasiswa pun bebas berbicara (mengkritik) sekadar untuk kebaikan bersama, terlepas dari kepentingan individu.
Terakhir mahasiswa harus paham akan fungsi dan keberadaannya. Mereka adalah tumpuan masyarakat sebagai manusia yang terdidik, sehigga besar harapan di pundaknya untuk senantiasa berkata benar, mengkritisi pemerintah atau siapa saja yang berlaku sewenang-wenang, menolong yang lemah, mendalami ilmunya untuk peningkatan kualitas hidup manusia di dunia. Atau bisa dikatakan bahwa mahasiswa belajar bukan semata-mata untuk dirinya, tapi akan ia persembahan untuk dunia dan kemanusiaan.
Karena itu, begitu beratnya menjadi manusia berpengetahuan.. ia akan gelisah terhadap kenyataan itu dan berupaya untuk menuntaskannya.
Semoga saja tulisan ini membuat kawan-kawan mahasiswa, dosen-dosenku tercinta tambah gelisah..

Salam
Idham Malik
Di Meja kayu, istanaku rumahku
Maros, 27 September 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi