Sebab-sebab Perubahan Sosial


Dalam sejarah, ada banyak teori mengenai sebab musabab terjadinya perubahan sosial. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat berubah karena ideas: pandangan hidup, pandangan duni, dan nilai-nilai.
Menurut para penganut pendapat ini, penyebab utama perubahan adalah ideas. Max Weber adalah salah satu penganut pendapat serupa. Dalam The Sosiology of Religion dan The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Max Weber banyak menekankan betapa berpengaruhnya ide terhadap suatu masyarakat. Sejumlah peneliti Max Weber juga mengatakan bahwa tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar ideologi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat.


Sudah tentu, strategi perubahan sosial sangat bergantung pada apa yang kita anggap sebagai sebab-musabab terjadinya perubahan. Para nabi, umpamanya, pertama-tama datang dengan mengubah pandangan dunia individu atau masyarakat. Ketika Alquran datang, ia mengubah dan memperkaya makna idiom-idiom yang sebelumnya sudah ada. Sebagai contoh, kata taqwa adalah sebuah idiom yang sudah ada pada masyarakat pra-Islam. Tetapi, sebelum Islam tiba, makna taqwa tidak lebih dari rasa takut. Setelah datang Alquran, idiom taqwa ini diberi makna yang lebih kaya.
Itu artinya, Alquran melakukan perubahan sosial lewat ideas. Alquran memang menaruh perhatian yang besar pada perubahan atau pembaruan ideas. Malah, Allah memperingatkan jangan sampai orang-orang kafir menyebabkan berubahnya pandangan atau ideas umat Islam.
Kedua, yang mempengaruhi terjadinya perubahan sosial adalah great individuals (tokoh-tokoh besar) yang sering pula disebut dengan heroes (para pahlawan). Salah satu pengikut teori ini adalah Thomas Carlyle (1795-1881). Carlyle menulis buku yang berjudul On Heroes, Hero-Worship, and the heroic in history (Para Pahlawan, Pemujaan-Pahlawan, dan Kepahlawanan dalam Sejarah).Caryle pernah meyatakan, “Sejarah dunia.... adalah biografi orang-orang besar”.
Oleh sebab itu, menurut pemikir-pemikir macam Caryle, perubahan sosial terjadi karena munculnya seorang tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia. Kemudian, bersama-sama dengan para simpatisan sanga pahlawan melancarkan gerakan untuk mengubah masyarakat. Inilah yang oleh para sosiolog dinamakan great individuals as historical force.
Ketiga, perubahan sosial bisa terjadi karena munculnya social movement (gerakan sosial). Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), walaupun kecil, termasuk gerakan sosial. Berbagai LSM di luar negeri telah terbukti dapat menimbulkan perubahan sosial. Yayasan juga dapat berfungsi sebagai organisasi gerakan sosial.

Pembangunan dan Reformasi
Sebetulnya, perkara yang paling banyak kita rencanakan atau bicarakan adalah pembangunan (development). Development adalah proses sosial yang direncanakan atau direkayasa. Rekayasa sosial model pembangunan ini memang terjadi secara besar-besaran di negara-negara dunia ketiga setelah tahun 1970.
Ada banyak konsep tentang pembangunan. Misalnya, ada yang menyamakan pembangunan dengan modernisasi. Dengan demikian, development adalah the passing of traditional society into a modern one (beralihnya masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern). Development berkisar pada bagaimana mengubah satu masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya. Pendukung teori ini disebut developmentalis yang lazimnya berpegang pada ekonomi klasik. Teori pertumbuhan dari Rostow yang dipakai sebagai kebijakan ekonomi Indonesia selama 32 tahun Orde Baru juga berasal dari kalangan developmentalis.
Kalangan Developmentalis juga mengembangkan dependency theory (teori kebergantungan, dependensi). Teori dependensi mula-mula menemukan bentuknya di Amerika Latin setelah era 50-an. Pada waktu itu, negara-negara Amerika Latin sedang dirundung bermacam-macam dilema. Karena itu, teori dependensi berangkat dari asumsi bahwa keterbelakangan negara-negara Amerika Latin tidak hanya disebabkan oleh faktor internal, tapi juga disebabkan faktor eksternal. Salah satu pencetus teori ini adalah Paul Prebisch. Prebisch mengklaim bahwa ekonomi dunia secara fundamental ”terbagi” pada pusat yang merupakan negara industrial maju dan pinggir (periphery) yang kebanyakan merupakan negara-negara pertanian. Dan “pinggir” selalu saja perlu dukungan dan bantuan dari “pusat”. Teori ini dikembangkan lebih jauh oleh Andre Gunder Frank, Fernando Cardoso dan E Paletto.
Teori terakhir dari kaum developmentalis adalah global economic development (pembangunan ekonomi global). Teori ini berbicara tentang perubahan sosial melalui rekayasa sistem ekonomi politik global.
Akan tetapi, yang harus kita perbaki adalah cara berpikir kita. Karena, selama Orde Baru berkuasa, cara berpikir rakyat Indonesia ini telah dikacaubalaukan dan dikeruhkan. Sampai sekarang pun proses pengeruhan pikiran itu sebenarnya masih terus berlangsung. Emil Dofivat, dalam bukunya yang berjudul Die Grundgesetze der Massenfuehrung (Prinsip-prinsip Pengendalian Massa), menamai proses pengeruhan pikiran itu dengan Vernunfttruebung.

Strategi-Strategi Perubahan Sosial
Perubahan sosial bisa juga dilakukan dengan revolusi atau people power. Revolusi merupakan bagian dari power strategy (strategi perubahan sosial dengan kekuasaan). Dan revolusi merupakan puncak dari semua bentuk perubahan sosial. Sebab, ia menyentuh segenap sudut dan dimensi sosial secara radikal, massal, cepat, mencolok, dan mengundang gejolak intelektual dan emosional dari semua orang yang terlibat di dalamnya.
Strategi perubahan lainnya adalah persuasive strategy (strategi persuasif), dalam strategi ini media massa bisa sangat berperan. Karena, pada umumnya, strategi persuasif dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat yang tidak lain melalui media massa. J.A.C. Brown memasukkan propaganda dalam strategi persuasif untuk melakukan perubahan sosial.
Terakhir, adalah strategi normative reducative (normatif-reedukatif). Normative adalah kata sifat dari norm (norma) yang berarti aturan yang berlaku di masyarakat. Posisi kunci norma-norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat telah diakui secara luas oleh hampir semua ilmuan sosial.
Norma termasyarakat lewat education (pendidikan). Oleh karena itu, strategi normatif ini umumnya digandengkan dengan upaya reeducation (pendidikan-ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat yang lama dengan yang baru. Jadi, strategi ini juga lebih banyak bersifat persuasif dan bertahap. Lain halnya dengan revolusi yang saya sebut sebagai perubahan sosial secara cepat.
Bila juga kita menganalisis strategi-strategi perubahan sosial yang dilakukan tokoh di berbagai negeri. Misalnya, bagaimana Imam Khoemeini memimpin sebuah revolusi Islam di Iran. Atau, bagaimana Paulo Freire menimbulkan kesadaran orang-orang yang tertindas agar bangkit menuntut hak-haknya.

Problem Sosial dan Problem Individual
Jelas, kita mesti membedakan antara perubahan sosial dan perubahan individual. Walaupun mungkin saja perubahan individual mempengaruhi perubahan sosial di kemudian hari. Sebaliknya pun begitu. Lalu apa beda perubahan individual dan sosial dalam hubungannya dengan rekayasa sosial? Apakah ada rekayasa sosial dan rekayasa individual? Untuk apa sebetulnya rekayasa sosial itu?
Rekayasa sosial kita lakukan kerena munculnya problem-problem sosial. Sebelum ada problem sosial, tidak akan ada orang berpikir untuk melakukan rekayasa sosial (social engineering).
Problem sosial adalah perbedaan antara das Sollen (yang seharusnya, yang kita inginkan) dan das Sein (yang nyata, terjadi). Kita mencita-citakan sebuah masyarakat yang menghormati hukum, ternyata kita menemukan masyarakat yang sama sekali mengabaikan hukum. Akibatnya, timbul perbedaan antara yang ideal dan yang real. Itu artinya kita punya problem.
Problem itu bisa bertaraf sosial dan bisa individual. Program individual, misalnya, bila kita ingin melanjutkan studi tetapi tidak punya duit. Kenyataan tidak bisa melanjutkan studi karena tidak punya duit, itu adalah problem individual. Atau orang ingin tetap bekerja tapi dipecat. Problem individual ini harus diatasi secara individual. Jadi, kalau ada seorang atau beberapa orang yang tidak punya pekerjaan itu karena mereka malas, tidak punya skill, dan tidak punya semangat wiraswasta ini termasuk problem individual.
Akan tetapi, kalau orang yang tidak punya pekerjaan itu jumlahnya banyak, itu sudah menjadi problem sosial. Karenanya hal itu memerlukan sebuah rekayasa sosial. Kalau untuk mengatasi masalah individual, kita dapat melakukan apa yang disebut individual therapy (penyembuhan individual).
Misalnya, seorang anak tidak bisa belajar. Setelah kita selidiki, ternyata ia berlatar belakang broken home atau child abuse itu jumlahnya banyak dan merata di tengah-tengah masyarakat, itu bukan lagi problem individual melainkan problem sosial.
Untuk mengatasi problem sosial, kita perlu mengubah institusi-institusi sosial, sistem sosial, dan norma-norma sosial yang sebelumnya berlaku dalam suatu masyarakat. Dan perubahan sosial yang terencana (planned social change) pasti melalui suatu rekayasa sosial.
Singkatnya, pembicaraan mengenai perubahan sosial harus dimulai dulu dengan pembicaraan tentang problem-problem sosial. Bila tidak, alih-alih melakukan rekayasa sosial untuk menyelesaikan problem-problem sosial, kita mungkin malah menambah problem sosial baru.
Perspektif kita tentang apa yang disebut sebagai problem boleh jadi berbeda-beda. Karena, defenisi problem bagi sebagian kita ialah apa saja yang kita masalahkan. Jadi, mesti ada perbedaan tentang apa yang disebut masalah oleh suatu kelompok dengan kelompok yang lain.
Ada beberapa problem sosial yang disebutkan oleh para ilmuan sosial sebagai sumber-sumber perubahan: (1) Poverty (kemiskinan), adalah problem yang melibatkan orang banyak. (2) Crimes (kejahatan), bisa berjenjang dari blue collar crimes hingga white collar crimes (kejahatan orang yang berkerah putih). Kejahatan kerah putih adalah kejahatan yang dilakukan para ustad, eksekutif, birokrat, politisi, dan yang setingkat dengan mereka.
Problem sosial yang juga sering dimasukkan sebagai sumber perubahan adalah (3) pertikaian atau komflik. Konflik sosial bisa bersifat rasial, etnis, sektarian, ideologis, dan sebagainya. Bahkan dalam kerangka pikir Marxian, perubahan sistem sosial yang bersifat menyeluruh hanya akan terjadi melalui konflik. Tanpa terjadi konflik, tidak akan ada transformasi sosial yang bersifat menyeluruh.

Disalin dari Buku Rekayasa Sosial
Karya Jalaluddin Rahmat

Sindo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi