Polemik Kecerdasan dalam Genetika


Hingga kini, polemik mengenai kecerdasan masih sering kali menjadi bahan perdebatan. Terdapat beberapa maenstrem yang terbentuk dan saling menyerang, yaitu apakah kecerdasan itu bersifat lahiriah dan diturunkan, kecerdasan dibentuk oleh asuhan, atau kolaborasi keduanya.
Dalam buku Genom, kisah spesies manusia dalam 23 bab, terdapat beberapa informasi penting mengenai polemik di atas. Matt Riedley, pembuat buku itu dengan cantik mengisahkan fenomena kecerdasan ini dalam uraian sejarah gen, lebih khusus lagi menempatkan gejala kecerdasan ini dalam bab kromosom ke-6.


Sebelum melangkah lebih jauh, Riedley terlebih dahulu melakukan verifikasi bahwa “Gen itu tidak dihadirkan untuk menimbulkan penyakit. Bahkan jika sebuah gen menyebabkan suatu penyakit karena ‘rusak’ kebanyakan gen itu bukan ‘rusak’ melainkan hanya hadir dengan warna yang berbeda. Gen untuk mata warna biru bukan versi gen untuk mata cokelat yang mengalami kerusakan.” Dalam jargon genetika, mereka disebut alel yang berbeda – yakni versi-versi alternatif untuk ‘paragraf’ genetik yang sama, semuanya sama-sama benar dan sah. Mereka semua normal; sehingga tidak ada defenisi pasti untuk kenormalan.
Sudah waktunya kita berhenti menggebrak semak dari luar. Sudah waktunya kita masuk ke tempat yang paling kusut, paling kasar, paling tajam, paling sulit dilewati di antara semua onak berduri di rimba genetika: pewarisan kecerdasan.
Kromosom 6 adalah tempat terbaik untuk menemukan tantangan macam itu. Pada kromosom 6 inilah, menjelang akhir 1997, seorang ilmuan yang berani atau barangkali nekad pertama kali mengumumkan kepada dunia bahwa ia menemukan satu gen “gen kecerdasan”. Namun, menanggapi itu, justru sekian banyak ilmuan yang skeptis, mengingat banyaknya penelitian yang berbau politik selama beberapa dasawarsa. Alam rasanya tidak begitu saja mempercayakan penentuan kapasitas intelektual kita kepada satu atau beberapa gen; alam memberi kita orangtua, tradisi belajar, bahasa, budaya dan pendidikan yang dapat digunakan untuk memprogram diri kita.
Namun inilah yang kata Robert Plomin telah ditemukan olehnya bersama beberapa rekan sejawat. Sekelompok anak remaja sangat berbakat, yang dipilih dari seluruh Amerika karena prestasi belajar yang mendekati genius, dikumpulkan di Iowa setiap musim panas. Mereka anak-anak dua belas hingga empat belas yang telah mengikuti ujian lima tahun lebih cepat dan termasuk satu persen memperoleh nilai tinggi. Mereka memiliki IQ sekitar 160.
Tim peneliti Plomin, dengan pertimbangan bahwa anak-anak itu pastilah memiliki versi-versi terbaik untuk setiap gen yang mungkin mempengaruhi kecerdasan, mengambil sampel darah dari masing-masing dan memulai perburuhan mereka pada kromosom 6.
Tak lama kemudian, ia menemukan satu bagian kecil pada lengan panjang kromosom 6 anak-anak cerdas itu yang kerap berbeda dari urutan pada orang lain. Urutan itu terletak di bagian tengah gen yang disebut IGF2R1.
Sejarah IQ tidak begitu membesarkan hati. Tidak banyak perdebatan dalam sejarah sains yang berlangsung sekonyol perdebatan seputar kecerdasan. Termasuk keragu-raguan sebagian besar orang yang berkaitan dengan kevalidan uji IQ.
Uji IQ identik dengan penggunaan waktu yang singkat, sehingga kecerdasan seseorang kadang tidak langsung dapat terlihat. Mengukur kecerdasan dalam jangka waktu setengah jam saya kira adalah sesuatu yang bahlul.
Akan tetapi di Amerika-lah uji kecerdasan berubah menjadi buruk sekali. H. H. Goddard memakai uji kecerdasan yang ditemukan oleh Prancis Alfred Binet kemudian menerapkannya pada orang Amerika dan bakal jadi orang Amerika. Dari uji ini ia menyimpulkan dengan sangat gampang tidak hanya banyak imigran ke Amerika yang “pandir,” tetapi ditambah dengan pernyataan bahwa mereka dapat mudah dibedakan oleh para pengamat yang terlatih.
Uji-uji IQ-nya sangat subjektif dan mengandung bias terhadap nilai-nilai masyarakat kelas menengah atau kultur barat. Sebagai contoh, berapa banyak orang Yahudi asal Polandia tahu bahwa lapangan tenis mempunyai jaring di tengahnya? Ia tidak ragu sama sekali bahwa kecerdasan diturunkan, berarti “tingkat kecerdasan atau tingkat kebugaran mental tiap individu ditentukan oleh jenis kromosom yang bergabung ketika bersatunya sel gamet: bahwa ini hanya akan terpengaruh sedikit oleh faktor dari luar kecuali terjadi kealpaan serius yang bisa jadi merusak sebagian mekanisme pewarisan itu.”
Dengan pandangan seperti ini, Goddard jelas orang yang eksentrik. Akan tetapi ia cukup berpengaruh terhadap kebijakan nasional, sehingga ia cukup berpengaruh terhadap kebijakan nasional sehingga diperbolehkan menguji para imigran setiba mereka di Pulau Ellis.
Robert Yorkes membujuk tentara Amerika Serikat untuk memperbolehkannya melakukan uji kecerdasan kepada jutaan sukarelawan yang ingin terjun ke Perang Dunia Kesatu. Uji di angkatan bersenjata Amerika itu memberikan pengaruh besar dalam debat yang mengantar lolosnya Undang-undang Pembatasan Imigrasi oleh Kongres pada tahun 1924 yang menetapkan kuota ketat terhadap pendatang asal Eropa bagian selatan dan timur berdasarkan pandangan bahwa mereka kalah cerdas dibanding orang Eropa dari tipe Nord yang telah mendominasi penduduk Amerika sampai tahun 1890.
Tujuan undang-undang itu sedikit sekali nilai ilmiahnya. Itu sekadar pengungkapan prasangka rasial dan kecendrungan untuk proteksionisme kelompok tertentu. Bagaimanapun, pandangan tersebut dihalalkan oleh sains gadungan yang dikemas dalam bentuk uji kecerdasan.
Cerita tentang eugenika akan disisakan untuk salah bab di belakang, tetapi tidak begitu mengherankan bila cerita tentang uji kecerdasan ini telah menyebabkan sebagian besar ilmuan, terutama dari ilmu-ilmu sosial, sangat tidak percaya kepada uji-uji IQ.
Ketika bandul sedang berayun menjauhi rasisme dan eugenika beberapa saat menjelang Perang Dunia Kedua, pandangan yang sama tentang kecerdasan yang diturunkan menjadi hampir seperti ditaburkan.
Orang-orang macam Yerkes dan Goddard telah mengabaikan sama sekali pengaruh lingkungan terhadap kemampuan. Lebih konyol lagi, mereka telah menguji orang-orang tidak berbahasa Inggris menggunakan soal-soal berbahasa Inggris dan menguji orang-orang buta huruf dengan uji-uji yang mengharuskan mereka memegang pensil untuk pertama kalinya.
Keyakinan mereka terhadap kecerdasan turunan terlalu berlebihan sehingga belakangan para kritikus secara umum menyatakan bahwa semuanya tidak benar. Bagaimanapun, manusia mempunyai kemampuan belajar. Tingkat kecerdasan mereka dapat dipengaruhi oleh pendidikan sehingga barangkali psikologi harus dimulai dari pengandaian tidak ada unsur turunan sama sekali dalam kecerdasan: semuanya menyangkut masalah pelatihan.
Sains beusaha maju dengan menegakkan hipotesis-hipotesis kemudian menguji semua itu bertujuan untuk mencari kekeliruan. Akan tetapi dalam kenyataan tidak selalu demikian. Sebagaimana para determinis genetik tahun 1920-an yang selalu mencari penegasan atas gagasan-gagasan mereka dan tidak pernah mencari bukti-bukti menjatuhkan, begitupula para determinis lingkungan tahun 1960-an selalu mencari bukti-bukti yang menantang, ketika seharusnya mereka aktif mencari bukti-bukti tersebut. Yang menjadi paradoks, inilah sisi sains di mana seorang “pakar” biasanya lebih keliru dibanding orang awam. Orang biasa selalu tahu bahwa pendidikan penting, tetapi mereka juga selalu percaya bahwa sebagian kemampuan adalah bawaan. Para pakarlah yang pada hakikatnya telah menempatkan diri pada posisi-posisi ekstrem dan tak masuk akal pada ujung spektrum.
Belum ada defenisi yang dapat diterima secara bulat untuk kecerdasan. Apakah kecepatan berpikir, kemampuan membuat nalar,daya ingat, perbendaharaan kata, kemampuan berhitung dalam kepala, kekuatan mental, atau hanya sekadar hasrat menggebu untuk mencari hal-hal baru membuat seseorang pantas disebut cerdas?
Orang pintar, di luar dugaan, bisa saja seperti orang bodoh dalam beberapa hal – misalnya dalam pengetahuan umum, dalam bertaktik, dalam menghindari tiang lampu, atau apa pun. Seorang pemain sepakbola dengan prestasi sekolah rendah mungkin mampu berpikir cepat sekali soal peluang dan cara memberikan operan yang tepat. Musik, kefasihan berbahasa, bahkan kemampuan memahami pikiran orang lain adalah kemampuan dan bakat yang tidak harus berada pada orang yang sama.
Howard Gardner bersikeras dengan pendapatnya soal teori kecerdasan ganda (muliple intelligence) yang mengakui tiap bakat sebagai kemampuan terpisah. Robert Sternberg sebaliknya mengatakan bahwa pada dasarnya kecerdasan hanya terdiri atas tiga unsur – analitik, kreatif dan praktis. Soal-soal analitik adalah soal-soal yang dirumuskan oleh orang lain, didefenisikan dengan jelas, lengkap dengan semua informasi yang diperlukan untuk memecahkannya, hanya mempunyai satu jawaban yang benar, tidak berhubungan dengan pengalaman sehari-hari dan tidak memiliki kepentingan terselubung: misalnya ujian sekolah.
Soal-soal praktis menuntut orang mengenali dan merumuskan soal itu sendiri, tidak didefenisikan dengan jelas, tidak memiliki informasi lengkap, bisa mempunyai satu jawaban atau lebih dari satu tetapi muncul langsung dari kehidupan sehari-hari. Anak-anak jalanan Brazil yang berprestasi buruk sekali dalam matematika di sekolah rata-rata mahir dalam jenis matematika yang mereka perlukan dalam kehidupan sehari-hari mereka. IQ adalah penduga yang luarbisa buruk untuk profesi konsultan dalam taruhan pacuan kuda. Dan ada beberapa anak Zambia yang baik dalam uji IQ dengan menggunakan model-model kawat meskipun nilainya buruk ketika menjalani uji dengan menggunakan pensil dan kertas – sementara anak-anak Inggris menunjukkan hasil kebalikan dari ini.
Hampir sesuai defenisi, sekolah memusatkan perhatian kepada masalah-masalah analitik, maka begitu pula uji-uji IQ. Bagaimanapun keragaman bentuk dan isinya, uji IQ mau tidak mau mengandung bias ke arah kemampuan berpikir tertentu. Namun jelas bahwa uji tersebut mengukur sesuatu. Jika Anda memperbandingkan kinerja orang menggunakan uji IQ berbeda, ada kecendrungan akan keragaman.
Ahli statistik Charles Spearman pertama kali menemukan situasi ini pada tahun 1904 – bahwa seorang anak yang berprestasi baik dalam satu pelajaran cendrung baik pula dalam pelajaran lain. Juga bahwa kecerdasan berbeda, alih-alih saling independen, tampaknya sangat saling berkorelasi.
Spearman menyebut ini kecerdasan umum, atau, dengan singkatan ‘g’ yang keren. Beberapa pakar statistik mengatakan bahwa “g” hanya satu keistimewaan dalam statistik – sebuah solusi yang mungkin di antara banyak solusi untuk masalah pengukuran kinerja-kinerja berbeda.
Sebagian yang lain memandangnya sebagai suatu pengukuran langsung terhadap pandangan umum: kenyataan bahwa kebanyakan orang bisa setuju soal siapa “cerdas” dan siapa tidak. Namun tidak ada yang ragu bahwa “g” berhasil. Ini penduga yang lebih baik tentang prestasi seorang anak di sekolah dibanding hampir semua pengukur yang lain.
Ada pula kenyataan mengejutkan bahwa IQ atau kecerdasan umum konstan pada usia berapa pun: tentu saja, antara enam dan delapan belas tahun, kecerdasan Anda berkembang dengan pesat, tetapi IQ Anda dibanding IQ teman-teman sebaya berubah sedikit sekali. Sesungguhnyalah, kecepatan ketika seorang bayi membiasakan diri terhadap sebuah rangsangan baru berkorelasi kuat sekali dengan IQ di kemudian hari, seolah-olah kita hampir tidak mungkin meramalkan IQ dewasa seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan, yakni bila mengandaikan bahwa pendidikan baginya tersedia terus. Anak-anak ber-IQ tinggi tampaknya menyerap lebih banyak hal di luar yang diajarkan di sekolah.
Kendati tidak bermaksud membenarkan kemutlakan pendidikan, besarnya perbedaan prestasi rata-rata antarsekolah, baik di satu negeri maupun internasional dalam matematika atau mata pelajaran lain, menunjukkan betapa banyak yang masih dapat diraih melalui pengajaran. “Gen kecerdasan” tidak dapat bekerja dalam ruang hampa; mereka memerlukan rangsangan lingkungan untuk berkembang.
Kenyataannya bahwa uji IQ begitu kasar dan buruk di masa lampau dan sekarang pun masih jauh dari sempurna dalam hal obyektivitas, ini justru menjadikannya lebih istimewa, paling tidak karena konsistensinya. Jika, kendati melalui kondisi yang oleh Mark Philpott disebut ”kabut uji-uji yang tidak sempurna,” orang dapat membuktikan korelasi antara IQ dan gen gen tertentu, itu akan memperkuat kecendrungan keberadaan sebuah unsur dapat diturunkan yang terkait erat dengan kecerdasan.
Sementara itu, uji-uji modern belakangan ini telah sangat disempurnakan dalam hal obyektivitas, juga dalam hal ketidakpekaannya terhadap latar belakang budaya atau pengetahuan khusus yang diajarkan dari generasi ke generasi.
Dalam masa jaya pengujian IQ eugenika selama tahun 1920-an, tidak ada bukti bahwa IQ dapat diturunkan. Itu hanya pengandaian para pakar zaman itu. Dewasa ini, situasinya berbeda. Heretabilitas IQ (apa pun yang dimaksud dengan IQ) adalah sebuah hipotesis yang telah diujikan pada dua kelompok orang: anak kembar dan anak adopsi. Hasil-hasilnya, bagaimanapun cara Anda memandangnya, tetap mencengangkan. Tidak ada studi terhadap penyebab-penyebab kecerdasan yang telah gagal dalam menemukan bukti memadai bahwa itu diwariskan.
Selama 1960-an banyak orang memisahkan anak kembar sejak lahir, biasanya melalui adopsi. Dalam banyak hal tak ada maksud apa pun di balik tindakan tersebut, tetapi ada pula yang diam-diam dengan sengaja melakukannya karena alasan ilmiah. Hasilnya mengejutkan, kedekatan genetik ternyata berpengaruh terhadap kecerdasan masing-masing.
Tapi, sekali lagi, kecerdasan adalah gabungan keduanya, genetik dan asuhan. Asuhan pun memang membutuhkan perhatian ekstra, mesti dimulai dari usia nol. Dengan memberi asupan gizi sejak bayi dalam kandungan, memberikan perlakuan yang baik. Membebaskan kreativitasnya dan tidak melakukan pengekangan dalam bentuk apa pun. Setelah memberikan pendidikan semaksimal mungkin, baik lewat bermain maupun lewat bernyanyi. Dengan metode tersebut, otak anak akan dengan cepat berkembang, karena memang pada usia-usia dini, otak anak sangat cepat tumbuh. Jika mendapatkan tekanan, maka perkembangan otak terhambat.
Dengan begitu, ada baiknya kita memberikan pendidikan terhadap anak secara intens, baik tentang etika, ilmu pengetahuan dan agama sejak usia dini. Agar mereka tak ketinggalan seperti kita.

Idham Malik
Ditinjau dari buku Matt Readley, Kisah Spesies dalam 23 Kromosom


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi