Manajemen Budidaya Bivalvia untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dari Aktivitas Budidaya Udang Intensif

Berkembangnya budidaya udang intensif Litopenaeus vannamei akhir-akhir ini di Indonesia telah mendorong para ahli budidaya dan lingkungan untuk berpikir bagaimana agar peningkatan usaha tersebut tetap berdampak minim terhadap kemunduran mutu lingkungan di sekitarnya, terutama air buangannya. Hilangnya sumberdaya alam dan penurunan lingkungan akibat penerima dampak buangan air limbah industry budidaya udang sangat membahayakan keberlanjutan industry budidaya udang itu sendiri (Currie, 1994).
Dilaporkan oleh Olivera dan Brito (2005), suatu studi di Thailand mengungkapkan bahwa 77,5% N (nitrogen) dan 86% P (fosfor) terbuang di lingkungan ketika budidaya udang intensif dioperasikan. Sementara di Honduras, pada budidaya udang semi-intensif hanya 16% N dan 10% P yang termanfaatkan oleh udang, sisanya terbuang di lingkungan perairan.


Penggunaan anco (feeding tray) untuk mengecek jumlah pakan yang termakan dalam budidaya udang vaname dilakukan dalam budidaya udang vaname dilakukan dalam upaya membantu meminimalis jumlah nutrisi pakan yang larut dan hilang ke dalam lingkungan. Perbaikan-perbaikan teknologi yang mengarah pada usaha pengurangan dampak lingkungan ini diantaranya adalah intensifikasi budidaya dengan menggunakan aerasi (Rocha, 1999 dalam Olivera dan Brito, 2005), penggunaan substrat buatan, tanpa pertukaran air (zero water exchange), penggunaan system resirkulasi dan manajemen plankton.
Di seluruh penjuru dunia sedang dilakukannya gencarnya usaha untuk mengembalikan agar budidaya udang ini dapat berkembang dan berkelanjutan (sustainable). Olivera dan Brito (2005) dalam tulisannya melaporkan bahwa berkaitan dengan sangat pentingnya masalah ini, Asosiasi Pembenih Udang Brazil telah mengumpulkan dana untuk membiayai riset terapan yang focus pada bagaimana menciptakan produksi budidaya udang yang berkelanjutan daripada peningkatan pengembangan aktivitas budidaya udang itu sendiri. Untuk itu maka sangat diperlukan untuk mengadopsi beberapa prosedur khusus terutama yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan.
Budidaya bivalvia (Oyster, kerang-kerangan) dipandang sebagai salah satu upaya yang sangat efektif dan signifikan untuk mengurangi resiko penurunan mutu lingkungan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan tingginya limbah nutrisi N dan P dalam perairan hasil buangan dari aktivitas industri budidaya udang intensif. SEAFDEC (1999) melaporkan bahwa aplikasi bioremediasi di budidaya udang telah dipraktekkan di Thailand dan Filipina dikenal ada “program budidaya ramah lingkungan”, dimana sejenis bivalvia, Sonneratia sp digunakan untuk mengurangi berbagai dampak yang menyebabkan penurunan mutu lingkungan.
Moluska bivalvia akan mengurangi secara nyata konsentrasi N dan P dalam air buangan dari tambak produksi udang Panaeus monodon. Bivalve dipelihara dalam kurungan bamboo yang ditempatkan di bagian luar pintu pengeluaran air (outlet) budidaya udang tambak dengan kisaran salinitas 33-36 ppt, pH 5,29-6,19, dan oksigen terlarut 0,151-3,97 mg/L. hewan moluska ini akan mencapai panjang rata-rata 57,4 mm dalam waktu 3 bulan.
Projek percobaan budidaya moluska dalam kaitannya dengan budidaya udang di Brazil telah dilaporkan oleh Olivera dan Brito (2005). Larva oyster, Crassostrea rhizophorea dipelihara dalam kurungan kotak yang ditempatkan di pintu keluar tempat pembuangan air budidaya udang di tambak. Dalam satu kurungan terdapat 3 kotak kecil yang memuat 500 oyster/kotak dan ada 3 kurungan disusun secara parallel. Pertumbuhan oyster diamati dua kali sebulan. Sampel air diambil dari 3 titik: dari dalam tambak, air buangan keluar dari petakan tambak dan air buangan yang keluar dari saluran irigasi utama menuju keluar (perairan umum). Sampel air dianalsa kualitas airnya di laboratorium.
Kondisi kualitas air tambak budidaya udang L. vannamei selama periode 90 hari. Data menunjukkan bahwa produksi moluska secara nyata berpengaruh terhadap pengurangan dampak lingkungan yang merugikan dari air buangan tambak. Pengambilan atau penyerapan fosfat, nitrat dan nitrit dari perairan oleh moluska Nampak sangat nyata. Oyster yang dibudidaya mampu mengurangi akumulasi konsentrasi fosfat anorganik dalam media yang digunakan untk budidaya udang vaname intensif selama 3 bulan.
Pertimbangan akhir
Pemanfaatan bivalve moluska dalam usaha budidaya dang seharusnya dipropagandakan dan untuk ini diperlukan implementasi dari berbagai adopsi teknologi baru yang berkaitan dengan jenis budidaya, terutama dalam budidaya udang yang dilengkapi salurang pembuangan. Apapun hasilnya, fakta telah membuktikan bahwa di banyak daerah yang memiliki banyak tambak budidaya udang, budidaya moluska dapat membantu meminimalkan dampak negative lingkungan perairan yang diakibatkan dari adanya aktifitas budidaya udang.
Peran Oyster sebagai biofilter secara nyata dapat meminimalkan dampak negative lingkungan dari aktivitas budidaya udang dan ini sesuai dengan konsep budidaya ramah lingkungan. Oleh karena itu perlu kiranya kegiatan budidaya udang dan moluska secara terpadu dapat disosialisasikan kepada masyarakat pembudidaya udang, agar lingkungan budidaya tetap aman, sehat, bebas cemaran dan dapat berproduksi secara maksimal dan lestari sesuai daya dukung lingkungannya tanpa terjadi penurunan mutu lingkungan yang berarti.
Agung Sudaryono, Ph.D
Prodi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan Undip Semarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi