AKUBISNIS PERIKANAN


TUGAS INDIVIDU
AQUABISNIS
INDUSTRI AQUABISNIS IKAN PATIN

Description: C:\Users\Lia\Documents\logo-unhas-warna.jpg

YULIANA
L221 13 318
                                   












PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
JURUSAN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
            Seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan jumlah penduduk maka tingkat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Tentu saja kebutuhan akan daging sebagai salah satu makanan pokok juga semakin meningkat. Saat ini tingkat konsumsi daging sapi dan daging ayam di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan tingkat konsumsi daging ikan. Akan tetapi masyarakat mulai mengalihkan konsumsi daging sapi dan ayam ke daging ikan yang disebabkan makin meluasnya pengetahuan masyarakat akan manfaat kesehatan yang terkandung di daging ikan, serta harganya yang relatif lebih murah dibandingkan daging ayam dan daging sapi (Pikiran Rakyat, 2002).
            Ikan adalah salah satu sumber pangan yang nilai gizinya sangat baik karena  antara lain mengandung protein sebesar 16 persen sampai 26 persen dari bobotnya. Bagi tubuh manusia, protein berfungsi untuk pertumbuhan danpenggantian sel-sel yang rusak atau aus. Selain protein, ikan mengandung banyak nutrisi yang dibuuhkan oleh manusia. Ikan patin (Pangasius hypophthalmus) adalah salah satu ikan yang banyak ditemukan di perairan umum di Indonesia seperti sungai, waduk dan rawa. Ikan patin juga memiliki sifat yang menguntungkan, antara lain fekunditas yang tinggi, bersifat omnivora dan laju pertumbuhannya cepat sehingga dapat dibudidayakan secara masal. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan ikan yang semakin meningkat, maka budidaya ikan patin dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang menguntungkan.
            Selain itu, ikan patin dapat dijadikan sebagai bahan industri dengan mengolahnya menjadi fillet. Hal ini dikarenakan Ikan patin memilki keunggulan tersendiri, antara lain tidak bersisik, durinya relatif sedikit dan dagingnya putih kemerahan serta mudah dikuliti sehingga relatif mudah dibuat fillet yang baik (Susanto dan Amri, 1999). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ikan patin memiliki prospek yang bagus dalam agroindustri.
I.2 Tujuan
            Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam hal mengetahui perbandingan antara industri aquabisnis perikanan dari ikan patin dan ikan lainnya.



II. PEMBAHASAN
            Industrialisasi perikanan yang saat ini menjadi jargon Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan sebuah kebijakan strategis yang diharapkan akan mampu mendorong jalannya siklus usaha perikanan budidaya secara berkelanjutan dan menjadi penggerak bagi pilar pertumbuhan ekonomi nasional yaitu Pro-poor, Pro-job, Pro-growth, dan pro-eviroment. Ada 3 (tiga) faktor kunci dalam konsep industrialisasi perikanan yaitu peningkatan nilai tambah (value added), efesiensi dan daya saing (bargaining position), dimana ke-tiga faktor tersebut akan mampu mendorong terciptanya iklim usaha yang positif sebagai upaya dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Namun perlu diingat, bahwa konsep ini akan berjalan dengan baik jika seluruh aspek penggerak siklus aquabisnis mampu dibangun secara efektif. Pencapaian produksi dan kapasitas usaha akan mampu dicapai jika para pelaku utama maupun pelaku usaha secara ekonomi mampu mencapai titik optimal dari kelayakan usaha. Sedangkan kelayakan usaha tentunya sangat bergantung pada jalannya subsistem-subsistem yang saling berinteraksi mulai dari kegitatan di hulu (on farm) sampai kegiatan di hilir (off farm), hal ini karena keberadaan subsistem dalam siklus yang berjalan secara efektif akan mampu meningkatkan efesiensi produksi.
            Kebijakan strategis melalui industrialisasi perikanan budidaya, dinilai oleh sebagian besar masyarakat perikanan sebagai langkah positif dalam upaya mengembalikan kemandirian dan daya saing produk perikanan Indonesia di tataran global, yang nota bene memiliki potensi perikanan budidaya terbesar di dunia, namun minim pemanfaatan. Sudah saatnya potensi tersebut digali dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Guna mewujudkan harapan mulia tersebut, maka perencanaan sebelum implementasi perlu menjadi fokus perhatian Pemeritah dengan melibatkan dukungan dan kerjasama sinergi dari seluruh stakeholders, sehingga program Industrialisasi tidak  terkesan program “kagetan”.
            Ikan patin digolongkan sebagai salah satu komoditas unggulan sub-sektor perikanan yang dapat digunakan untuk menanggulangi krisis moneter dan ekonomi dikarenakan mempunyai sifat yang menguntungkan yaitu ukuran perindividu yang besar, kebiasaan makan yang omnivora, mudah bertelur, serta memiliki mutu daging yang digemari masyarakat luas. Selain itu ikan patin pun memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan untuk membuat fillet yang baik. Hal tersebut menyebabkan kegiatan usaha fillet ikan patin memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Kajian Usaha fillet Ikan Patin dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pihak-pihak yang terkait dalam pendirian usaha fillet ikan patin sejauh mana usaha ini dapat memberikan keuntungan di masa yang akan datang.
            Data permintaan dan penawaran fillet ikan patin tidak tercatat di Departemen Perindustrian dan Perdagangan serta di Departemen Kelautan dan Perikanan, begitu pula di Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun di Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. Hal ini karena fillet patin merupakan produk baru. Begitu pula data permintaan dan penawaran fillet ikan untuk pasar domestik tidak tercatat di Departemen Kelautan dan Perikanan maupun Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Data yang tercatat pada kedua departemen tersebut adalah data perkembangan ekspor komoditi hasil perikanan, untuk fillet/hasil perikanan lainnya yaitu sebesar 11.571.942 kg pada tahun 2001 dan 15.622.156 kg pada tahun 2002, atau naik sebesar 35 persen. (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004).
            Dalam beberapa tahun terakhir ini ekspor komoditi perikanan Indonesia terus menunjukkan laju kenaikan. Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami kemerosotan ekspor sebagai dampak krisis moneter, ekspor produk perikanan hampir tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi bahkan nilainya cenderung meningkat. Dari data ekspor perikanan tahun 1994 – 1998 menunjukkan kenaikan 7,01 % pertahun (volume) dan 4,9 % pertahun (nilai) (Ditjen Perikanan, 2000). Kecenderungan ini nampaknya disebabkan karena kandungan lokal komoditi perikanan sangat tinggi sehingga daya saingnya di pasaran global lebih kuat. Selain itu pula kekurangan pasokan ikan di pasaran dunia ikut mempengaruhi kecenderungan tersebut, dimana menurut FAO diperkirakan kekurangan tersebut hingga tahun 2010 dapat mencapai 2 juta  ton pertahun.
            Pemerintah menyadari bahwa ada keterbatasan sumberdaya dalam melakukan implementasi kebijakan industrialisasi perikanan, sehingga perlu membuka diri bagi keterlibatan pihak-pihak terkait khususnya pihak swasta, perbankkan, perguruan tinggi dan organisasi perikanan serta stakeholders lain dalam melaksanakan dan mengawal secara langsung pelaksanaan industrialisasi perikanan budidaya, terlebih program ini membutuhkan perencanaan dan sumberdaya baik materi maupun non materi yang tidak sedikit. Menyadari keterbatasan tersebut, pemerintah juga dapat mengambil langkah dengan mendorong pengembangan program kemitraan yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). CSR sebagai manifestasi peran pihak perusahaan dalam upaya pemberdayaan masyarakat lokal memang menjadi sebuah keharusan sebagai bentuk tanggung jawab moral yang harus secara langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar. Pengembangan program kemitraan dengan pola CSR ini dapat dilakukan dalam berbagai pola, seperti community development, Peningkatan kapasitas, promosi produk, bahkan perkuatan permodalan bagi Usaha Mikro dan Kecil. Pada beberapa kasus, program CSR telah secara nyata mampu mendukung dan memperkuat Usaha Kecil dan Menengah (UMKM), sehingga ke-depan perusahaan-perusahaan besar maupun BUMN harus dilibatkan dalam turut serta menopang kegiatan usaha perikanan budidaya.
            Di tahun 2014 Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengingatkan pembudidaya komoditas ikan patin di berbagai daerah guna memanfaatkan potensi melonjaknya permintaan ikan tersebut baik dari domestik maupun internasional.
            KKP berkepentingan untuk menjaga pasar domestik sekaligus meningkatkan produksi melalui sinergitas hulu-hilir perikanan.Atas hal itu,melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 15 Tahun 2011, telah melakukan pengendalian terhadap impor produk fillet patin.Karena itu, untuk memastikan konsimen pihaknya melakukan nota kesepahamaan antara empat UPI dengan konsumen.
            Meski kapasitas produksi filet ikan patin bertambah, jumlah tersebut masih belum bisa memenuhi kebutuhan. Diperkirakan, pada tahun 2014, kebutuhan filet ikan patin mencapai 700 ton per bulan. Fokus pemasaran filet ikan patin masih di dalam negeri.     Jika kebutuhan di dalam negeri sudah terpenuhi, Saut bilang, filet ikan patin bisa diekspor. Tetapi, rencana ekspor filet ikan patin ini masih belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Rencananya, ekspor filet ikan patin baru bisa dilakukan pada tahun 2015 mendatang.Supaya berdaya saing di pasar ekspor, Saut bilang biaya produksi pengolahan harus ditekan. “Terutama biaya pakan,” kata Saut. Selain itu juga, limbah ikan patin seperti tulang dan kulit harus dapat dimanfaatkan sehingga memiliki nilai tambah.
            Di saat ongkos produksi membengkak, harga jual ikan patin justru merosot. Hal ini mengakibatkan pembudidaya ikan patin tak bergairah sehingga industri pengolahan fillet terkendala kontinuitas pasokan patin segar sesuai standar. Hasil tinjauan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Komisi Catfish Indonesia menunjukkan, kebutuhan patin hidup/segar nasional saat ini per harinya mencapai 400 – 450 ton. Angka yang sama adalah kebutuhan fillet (daging tanpa tulang) ikan patin untuk setiap bulannya. Direktur Jenderal P2HP (Pengolahan dan pemasaran Hasil Perikanan) KKP menambahkan target serapan pasar tahun 2014/2015 sekitar 600 – 700 ton fillet patin.
            Serapan pasar dalam negeri terbesar berupa patin segar sekitar 75 %, dan selebihnya berupa fillet, patin asap, serta bentuk olahan lainnya. Karena itu, prospek usaha pengolahan patin masih menggiurkan disebabkan pasar produk olahan patin masih terbuka lebar.
            Usaha hilir patin khususnya fillet saat ini sudah mulai masuk skala industri seiring terus meningkatnya volume permintaan pasar dalam negeri. Setengah dari kebutuhan fillet patin dalam negeri disuplai 6 perusahaan pengolahan terbesar. Sisanya dari pemain lainnya, dan sebagian masih ada produk impor illegal. Perusahaan tersebut yaitu PT Indomaguro Tunas Unggul, PT Sumber Kencana Mina (SKM), PT Central Proteinaprima (CPP), PT Adib Global Food Supplies, CV Kurnia Mitra Makmur, dan PT Expravent Nasuba, Diperkirakan total volume produksi fillet patin keenam perusahaan tersebut sekitar 200 ton/bulan.
            Sayangnya, kebutuhan fillet patin ini belum mampu sepenuhnya dipasok oleh industri pengolahan dalam negeri. Ia menunjuk masih banyak patin ilegal asal Vietnam yang beredar di pasaran. Padahal sejak awal 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan kebijakan yang memperketat impor produk olahan patin dari negeri Paman Ho tersebut.
            Selama ini umumnya industri pengolahan masih kesulitan secara kontinu mendapatkan pasokan bahan baku yang sesuai standar mereka karena tak sedikit pembudidaya yang memilih panen dini patin-patinnya dengan alasan keterbatasan modal operasional, terutama untuk pembelian pakan yang kian meninggi harganya.
            Harga pakan yang tinggi menjadi sebab utama pembudidaya tidak mampu menurunkan biaya produksi. Saat ini harga pakan untuk patin di kisaran Rp 6.500 – Rp 7.000/kg. Sementara, perlu waktu yang tidak singkat untuk membudidayakan patin. Untuk mencapai patin ukuran 300 – 400 gram/ekor saja dibutuhkan setidaknya waktu sekitar 4 bulan. Belum lagi jika pembudidaya ingin memasok kebutuhan industri fillet patin yang menuntut standar kisaran bobot 700 – 800 gram/ekorpatin. Untuk kelas ini diperlukan waktu budidaya 6 – 7 bulan. Ketidakmampuan menutupi biaya pakan inilah yang menjadi alasan pembudidaya memilih melakukan panen lebih awal di ukuran 300 – 400 gram/ekor.
            KKP juga terus membangun unit pengolahan patin di beberapa daerah. Salah satunya di Muaro Jambi, Unit Pengolahan Ikan (UPI) fillet patin yang bekerjasama dengan PT Indomaguro Tunas Unggul. April lalu unit ini mulai beroperasi dan mampu mengolah 5 ton ikan patin segar menjadi fillet per harinya. ada 5 lokasi percontohan lagi yang juga mendapat program serupa yaitu Kampar-Provinsi Riau, Tulung Agung-Jawa Timur, Banjar-Kalimantan Selatan, Karawang, serta Purwakarta-Jawa Barat. Ditargetkan pada 2014 dari ke lima lokasi UPI tersebut dapat memproduksi fillet patin sampai 600 ton/bulan.




III. KESIMPULAN
            Kesimpulan yang dapat di tarik dari makalah ini yaitu untuk meningkatkan industri ikan patin haruslah ada kerjasama antara pemerintah dan pembudidaya karena dalam produksi ikan patin terdapat banyak kendala yang dialami seperti harga pakan yang tinggi sedangkan pemudidaya juga tidak memanen ikan yang masih berukuran kecil untuk mejaga ketersediaan ikan.



DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004. Perkembangan Ekspor Komodit Hasil Perikanan Menurut Komoditas Utama Tahun 2001-2002. Departemen Kelautan dan Perikanan RI

Direktorat Jenderal Perikanan, 1995. Promosi Peluang Usaha Di Bidang Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta.

Susanto, H. dan Amri, K. 1999. Budidaya Ikan Patin. Penebar Swadaya, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi