PENDEKATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI RUMPUT LAUT PADA SENTRAL PRODUKSI BUDIDAYA

PENDEKATAN PEMBANGUNAN INDUSTRI RUMPUT LAUT PADA SENTRAL PRODUKSI BUDIDAYA 
Lebih dari 80% rumputlaut Indonesia hanya diekspor dalam bentuk bahan baku primer (rawmaterial) dengan harga relatif rendah, hanya 20% saja yang diolahdi dalam negeri. Melihatfenomena di atas, sudah saatnya orientasi pengembangan mulai melirik pada industry hilir sebagai upaya dalam menigkatkan nilai tambah produk. Akselerasi industri hulu harus diimbangi dengan industri hilir sehingga merubah orientasi pemasaran dalam bentuk bahan mentah menjadi bahan jadi atau setengah jadi.

Fenomena lain adalah dimana hampir keseluruhan Industri rumput laut nasional terkonsentrasi pada kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, dilain pihak konsentrasi industri hulu tersebar di Indonesia bagian timur (mulai dari Sulawesi, NTT, NTB, dan Maluku). Kondisi inilah saat ini yang menuai permasalahan khususnya rantai pasok (supllychain). Pola rantai distribusi pasar yang melelahkan sangat mempengaruhi posisi tawar produk yang dihasilkan pembudidaya, sehingga nilai tambah produk belum mampu dirasakan oleh produsen di hulu. Dengan adanya konsentrasi industri rumput laut di sentral-sentral produksi melalui pendekatan nilai tambah (addingvalue) produk, diharapkan akan mampu menciptakan pergerakan ekonomi lokal, regional dan nasional.

 FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG

Aspek Budidaya

Kondisi budidaya di hulu mutlak menjadi pertimbangan utama sebelum menetapkan pembangunan industri rumput laut. Kegiatan budidaya rumput laut yang dilakukan harus senantiasa sesuai dengan teknologi anjuran pada setiap rangkaian proses produksi. Pola produksi budidaya harus mampu menjamin kontinyuitas produksi yang berkualitas. Analisis kelayakan budidaya meliputi penerapan teknologi anjuran, profil usaha budidaya, tingkat pendapatan dan margin pemasaran.

Aspek pasar dan pemasaran

Segementasi dan deskripsi produk

Produk intermediate olahan rumput laut memiliki banyak ragam, namun umumnya yang beredar di pasaran meliputi 3 (tiga) produk utama yaitu :

a). ATC (AlkaliTreatedChips)

Produk ini sering pula disebut chip rumput laut. Didapatkan melalui proses pengolahan yang relatif sederhana, dimulai dari pencucian dan pemasakan rumput laut dengan menggunakan larutan alkali (NaOH, KOH, KCl) pada suhu < 80oC selama 2 (dua) jam. Kemudian dicuci dengan air tawar dan dipotong dengan ukuran sekitar 3 – 5 cm.

b). SRC (SemiRefineCarrageenan)

Produk ini sering pula disebut karaginan setengah murni, dikodekan dengan EU407/a. Dikatakan demikian karena pada proses pengolahannya, karaginan di dalam rumput laut diupayakan tidak larut, melalui manipulasi pH dan suhu. Sedangkan komponen yang diupayakan larut adalah selulosa, yang notabene merupakan lapisan luar. Kendati demikian, kandungan selulosa pada produk akhir, umumnya masih tinggi. Hal ini yang menyebabkan produk SRC lebih banyak dipergunakan pada produk non-pangan seperti cat tembok, kosmetik, pengharum ruangan, pelapis keramik, hingga makanan hewan.

c). RC (RefineCarrageenan)

Produk ini sering pula disebut karaginan murni, dikodekan dengan EU407. Perbedaan utama dengan SRC adalah karaginan dan selulosa rumput laut, diproses dalam suhu tinggi sehingga larut dalam larutan alkali, untuk kemudian dipisahkan melalui proses penyaringan. Karena tidak mengandung selulosa, produk RC banyak dipergunakan pada produk pangan seperti susu kental manis, jelly, pasta ikan, kecap, saus dan lain sebagainya.

Nilai Tambah (addingvalue) Produk
Nilai tambah (adding value) dari rumput laut justru berada pada industri hilir (pengolahan). Estimasi nilai tambah produk pada masing-masing segmentasi usaha, sbb :

Produk
Rendemen (%)
Harga (Rp/kg)
Nilai Tambah (%)
Rumput Laut Kering
12% dari rumput laut basah
  7.000
-
ATC Chips (IndustrialGrade)
31,5% dari rumput laut kering
 60.000
270%
SRC (FoodGrade)
25% dari rumput laut kering
 80.000
285%
RC (FoodGrade)
23,6% dari rumput laut kering
200.000
674%
Karaginan kertas
25% dari rumput laut kering
 95.000
339%

Aspek Teknis Produksi

Penentuan Lokasi

Faktor Primer

A.     Ketersediaan bahan baku

Bahan baku harus terjamin ketersediaannya secara tepat waktu, jumlah dan kualitas. Ketersediaan bahan baku disini merupakan kemampuan suplly harian dari hulu bagi industri pengolah secara kontinyu.

Estimasi kebutuhan bahan baku, masing-masing menurut segmentasi usaha pengolahan :
§  Industri ATC chips skala menengah/besar mampu menghasilkan produk ATC Chips ≥ 5 ton/hari dengan estimasi kebutuhan bahan baku ≥ 15 ton/hr.
§  Industri SRC skala menengah/besar mampu menghasilkan produk SRC ≥ 5 ton/hr dengan estimasi kebutuhan bahan baku rumput laut kering ≥ 20 ton/hr.
§  Industri RC skala menengah/besar mampu menghasilkan produk RC ≥ 1 ton/hr dengan estimasi kebutuhan bahan baku rumput laut kering ≥ 5 ton/hr.

Jika kemungkinan pada sentral produksi kebutuhan bahan baku berkurang pada kondisi tertentu, maka alternatif suplly bahan baku harus mampu disediakan dari daerah lain disekitar.

B.     Aksesibilitas

Konsumen/pasar produk ATC Chips, SRC dan RC karaginan secara umum merupakan industri hilir yang ada di pulau Jawa (Jakarta dan Surabaya), sehingga kedekatan akses dengan infrastruktur transportasi baik darat, laut maupun udara keberdadaanya menjadi sangat vital. Industri yang letaknya dekat dengan pasar, relatif lebih cepat dalam hal pelayanan konsumen, biaya pengangkutan lebih rendah serta terkait dengan pemantauan perubahan keinginan pasar. Hasil akhir produk karaginan dapat dipasarkan langsung ke pulau Jawa. Disamping itu akses ke lokasi sentral produksi harus terjamin kemudahannya guna mempermudah fungsi pengangkutan dan distribusi hasil produksi.

C.     Sarana dan prasarana penunjang

Dalam menjamin kualitas baha baku hasil produksi budidaya, pada sentra produksi harus tersedia sarana penjemuran dan depo/gudang penampungan yang memadai.

D.    Fasilitas Pengangkutan

Ketersediaan fasilitas pengangkutan baik untuk bahan baku maupun produk akhir, dapat dilakukan dengan menggunakan angkutan darat (truk), angkutan laut maupun udara.

E.  Ketersediaan SDM tenaga kerja

Pengolahan rumput laut lebih banyak membutuhkan tenaga kerja tidak terdidik (unskilled labour) dibandingkan tenaga kerja terdidik (skilled labour). Dalam konteks diatas, penempatan industri pengolahan rumput laut sebaiknya memperhitungkan ketersediaan tenaga kerja produktif, dalam artian turut memperhitungkan karakteristik budaya, mata pencaharian pokok serta kebiasaan hidup masyarakat sekitar yang heterogen sehingga dapat mengeliminir terjadinya inefisiensi yang dapat mempengaruhi kelancaran proses produksi.

F.  Infrastruktur penunjang

Infrastruktur penunjang meliputi jaringan listrik dan jaringan telepon. Kebutuhan listrik yang tinggi dapat dipenuhi dari PLN maupun generator diesel (untuk mengantisipasi kondisi pemadaman), sehingga kedekatan dengan sumber bahan bakar (SPBU) menjadi vital. Selain itu, akses informasi (telepon/internet) patut diperhitungkan terutama dalam akses komunikasi dan pemantauan pasar.

G. Aspek kelembagaan dan kemitraan

Kelembagaan kelompok maupun penunjang menjadi sangat penting sebagai faktor utama dalam menjamin siklus bisnis yang positif. Keberadaan kelembagaan yang kuat secara langsung akan mampu meningkatkan efektifitas rantai pasok dankualitas hasil produksi di hulu, sehinggka kondisi ini akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan industri pengolah.

Keberadaan spekulan harus diiupayakan untuk ditekan karena secara langsung akan mempengaruhi rantai pasok, stabiltas harga dan jaminan kualitas hasil produksi. Keberadaan industri pengolah, diupayakan harus mampu membangun kemitraan yang positif secara langsung dengan pembudidaya/kelompok.

Faktor sekunder

A.     Dukungan/regulasi Pemerintah Daerah

Peraturan Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten, harus mendukung perkembangan industri dilihat dari aspek kebijakan, hukum, teknis maupun kemudahan permodalan.

B.     Respon masyarakat

Respon masyarakat turut menentukan keberlanjutan pabrik kedepan terkait keselamatan dan keamanan produksi, potensi konflik menyangkut rekruitment tenaga kerja hingga social cost yang kerap muncul terutama pada era otonomi daerah seperti saat ini. Respon masyarakat turut menentukan keberlanjutan pabrik kedepan terkait keselamatan dan keamanan produksi, potensi konflik menyangkut rekruitment tenaga kerja hingga social cost yang kerap muncul terutama pada era otonomi daerah seperti saat ini.

C.     Kemudahan lainnya

Meliputi harga tanah dan gedung, kemungkinan perluasan, fasiltas servis, fasilitas finansial, ketersediaan air, iklim lokasi dll.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Istilah-Istilah Perikanan

Faktor Pembatas dan Lingkungan Fisik

Energi dalam Ekologi